PERANAN MOLIBDENUM PADA FIKSASI NITROGEN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Proses alamiah selalu lebih unggul dari proses rekayasa manusia, baik dari segi ekonomi maupun pengaruhnya terhadap lingkungan. Sebagai contoh, N2 adalah suatu senyawa yang inert, padahal semua organisme termasuk manusia sangat membutuhkan unsur N. Pembentukan NH3 sebagai prekursor pembentukan asam amino dan protein yang menggunakan bahan baku N2 dapat dihasilkan dari proses Haber-Bosch pada suhu 500 oC, tekanan 350 atm dengan bantuan katalis besi. Cara ini jika dilihat dari segi ekonomi dan pengaruhnya pada lingkungan tidak menguntungkan.
Dengan proses biokimia, Azotobacter vinelandii ternyata mampu mensintesis NH3 dengan bahan baku yang sama pada suhu sekitar 28 oC dan tekanan normal tanpa mengeluarkan polusi. Keistimewaan proses biokimia fiksasi nitrogen oleh Azotobacter vinelandii ini amat menarik untuk diamati. Bagaimanakah mekanisme Azotobacter vinelandii dapat memfiksasi N2, baik dari segi biologi, biokimia, regulasi, dan genetic, belum banyak dipahami. Fiksasi N2 oleh Azotobacter vinelandii adalah proses biokimia melalui reaksi enzimatis yang melibatkan nitrogenase sebagai enzim. Nitrogenase adalah enzim yang molekulnya amat kompleks, terdiri dari dua komponen. Komponen I mengandung unsur Mo dan Fe dan komponen II hanya mengandung Fe.
Hal ini jikalau ditinjau lebih lanjut adalah suatu kejanggalan karena N2 adalah senyawa yang sangat tidak reaktif. Dengan kata lain, membutuhkan suhu atau tekanan yang sangat tinggi untuk membuatnya bereaksi. Artinya, tak mungkin N2 ini dapat bereaksi pada suhu dan tekanan normal pada keadaan biasa.
Telah diketahui sejak tahun 1930 bahwa molibdenumlah sebagai kofaktor utama dalam fiksasi nitrogen. Hal ini karena fungsi fiksasi nitrogen dapat diberhentikan dengan mengambil molibdenum dari lingkungan dan menjalankan fungsi fiksasi nitrogen ini kembali dengan menyimpan molibdenum kembali ke lingkungan. Namun, mengenai mekanisme bagaimana molibdenum berperan dalam proses fiksasi nitrogen masih sulit untuk dijelaskan.

1.2 Tujuan
Tujuan dilakukannya studi literatur ini adalah menentukan peranan molibdenum dalam fiksasi nitrogen Azotobacter vinelandii.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Molibdenum merupakan salah satu unsur logam transisi golongan VIB yang mempunyai kemiripan sifat dengan unsur krom. Mempunyai massa atom 95,94 sma, nomor atom 42, jari-jari atom 1,39 amstrong, biloks +6, +5, +4, +3, dan +2, mempunyai volume atom 9,40 cm3/mol, mempunyai struktur kristal bcc, titik didih 4912 K, titik lebur 2896 K, dan massa jenis 10,22 gram/cm3 (Sunardi, 2007).
Mo4+ cenderung untuk membentuk bilangan koordinasi 8 dengan struktur kompleks berupa dodecahedral (Sukardjo, 1992).
Berdasarkan siklus nitrogen, nitrogen terdapat di semua lapisan dalam lingkungan. Atmosfer terdiri dari 78 % volume unsur N2. Molekul N2 sangat stabil. Oleh karena itu, pemutusan menjadi atom-atomnya untuk bereaksi dengan bahan kimia membentuk senyawa organik atau anorganik adalah suatu hal yang sangat sulit. Ini dapat terjadi dengan proses berenergi tinggi dalam penyinaran cahaya menghasilkan nitrogen oksida (Achmad, 2004).
Secara alamiah, bakteri Azotobacter vinelandii memiliki kemampuan memfiksasi N2 dengan mekanisme biokimia yang melibatkan reaksi enzimatis. Fiksasi N2 adalah proses enzimatis yang melibatkan nitrogenase. Data yang dikemukakan oleh Schrauzer (1977) dan Brill (1980) mengatakan bahwa nitrogenase adalah molekul metaloprotein yang amat kompleks, terdiri dari dua komponen. Komponen I berbobot 200000 sampai 2550000, mengandung dua atom Mo, 28 sampai 43 atom Fe (non-heme), dan 26 sampai 28 ion sulfida serta residu sistein. Molibdenumlah pada komponen I ini merupakan bagian dari metaloenzim yang berfungsi sebagai kofaktor yang disebut kompleks Fe-Mo dan berbobot molekul kurang dari 5000. Komponen II yang berbobot molekul 55000 sampai 65000 mengandung 4 atom Fe (non heme), empat gugus sulfida dan empat residu sistein (Wahab, 2010).
Dari segi kimiawi, unsur Mo dan W terletak dalam satu golongan yakni golongan 6 (VIB). Seperti kita ketahui bahwa unsur-unsur kimia yang terletak dalam satu golongan memiliki sifat kimia yang mirip. Berdasarkan penelitian, walaupun dalam media tersedia Mo dan W dalam takaran cukup, komponen I kompleks nitrogenase tetap akan menggunakan Mo saja sebagai metaloenzimnya (Hawab, 2010).
Fiksasi nitrogen hanya dapat terjadi dengan keberadaan molibdenum. Suatu postulat menyatakan bahwa mekanisme molibdenum dalam memfiksasi nitrogen adalah atom-atom molibdenum mengikat dinitrogen dan atom-atom besi ikut serta dalam satu atau lebih rantai redoks yang menyediakan elektron yang diperlukan untuk mereduksinya. Ketika komponen I dan komponen II dari enzim nitrogenase dipisahkan, maka tidak akan menjalankan kemampuannya untuk memfiksasi nitrogen (Cotton dan Wilkinson, 1989).
Logam dapat membebaskan sebuah pasangan elektron di ikatannya dengan suatu senyawa sehingga membuat senyawa yang pada awalnya tidak reaktif menjadi reaktif. Demikianlah prinsip dasar senyawa organologam mengkatalisis suatu reaksi (Norman, 1978).

BAB III
PEMBAHASAN

Molibdenum memiliki nomor atom 42. Mo4+ cenderung untuk membentuk bilangan koordinasi 8 dengan struktur kompleks berupa dodecahedral. Berdasarkan aturan EAN (effective atomic number), untuk Mo4+ adalah sebagai berikut :
Mo = 42
Mo4+ = 38
Jumlah elektron ligan = 2 x 8 = 16
EAN Mo4+ untuk bil. Koord. 8 = 38+16 = 54 (sama dengan jumlah elektron gas mulia Xe)
Hal ini telah sesuai untuk teori EAN (effective atomic number) yang menyatakan bahwa senyawa-senyawa kompleks dikelilingi oleh ligan-ligan sedemikian, hingga jumlah elektron sekitar ion logam sama dengan elektron gas mulia.
Molibdenum dengan bilangan koordinasi 8 memiliki struktur dodecahedral secara teori. Namun, akibat terjadi distorsi tetragonal kuat, maka struktur menurut percobaan adalah berubah-ubah. Pada nitrogenase komponen I, molibdenum terikat oleh ligan yang berasal dari sistein dari protein. Strukturnya kurang lebih dapat digambarkan sebagai berikut :

Adapun mekanisme dari metalomolibdenum dalam memfiksasi nitrogen adalah dengan mengikat N2 sehingga molekul ini dari tidak reaktif menjadi reaktif akibat molibdenum membebaskan sebuah pasangan elektron di ikatannya.
Alasan mengapa ketika komponen I dan II dari nitrogenase dipisahkan, maka aktivitasnya untuk memfiksasi nitrogen akan hilang padahal pada komponen II tidak terdapat atom molibdenum adalah karena diperlukannya atom Fe non heme pada komponen II untuk menyediakan elektron sehingga 1 sistein yang terikat sebagai ligan pada atom pusat Mo4+ dapat terlepas.
Fe3+ + e  Fe2+

Bentuk Mo(RS)7N=N- adalah bentuk yang reaktif sehingga dapat dijadikan prekursor untuk pembentukan NH3 sebagai bahan dasar pembentukan asam amino pembentuk protein.
Ketika molibdenum diganti dengan wolfram yang memiliki sifat kimia yang mirip dengan molibdenum dan juga dapat membentuk bilangan koordinasi 8 dengan struktur dodecahedral, maka fiksasi nitrogen tidak akan dapat terjadi. Hal ini mungkin saja karena wolfram dan molibdenum memiliki sifat biologi yang berbeda. Walaupun demikian, penjelasan ilmiahnya adalah sesuatu hal yang masih menjadi misteri.
BAB IV
KESIMPULAN

Molibdenum dalam enzim nitrogenase membantu dalam fiksasi nitrogen dengan jalan menjadikan N2 yang tidak reaktif menjadi Mo(RS)7N=N- yang reaktif sehingga dapat bereaksi membentuk NH3 sebagai bahan dasar asam amino pembentuk protein dengan bantuan Fe3+ sebagai penyedia elektron melalui reaksi reduksinya menjadi Fe2+ untuk membantu dalam pelepasan 1 ligan sistein pada atom pusat Mo4+ sehingga reaksi molibdenum dengan N2 dapat terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, R., 2004, Kimia Lingkungan, ANDI, Yogyakarta.

Cotton, F.A., dan Wilkinson, G., 1989, Kimia Anorganik Dasar, UI-press, Jakarta.

Hawab, 2010, Ketergantungan Pertumbuhan dan Aktivitas Fiksasi Nitrogen oleh Azotobacter vinelandii terhadap Unsur Molibdenum (Mo) dan Wolfram (W) pada Media Cair Modifikasi Burk, Prosiding (online), 7, 81-91, http://www.google.com, diakses pada tanggal 25 Nopember 2010 pukul 13.30 WITA.

Norman, R.O.C., 1978, Principles of Organic Synthesis, Chapman and Hall, London.

Sukardjo, 1992, Kimia Koordinasi, Rineka Cipta, Jakarta.

Sunardi, 2007, 116 Unsur Kimia Deskripsi dan Pemanfaatannya, Yrama Widya, Bandung.

METANOL SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF

LAPORAN
STUDI LITERATUR KIMIA




METANOL SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF





NAMA : SUHENDRA ISKANDAR

NOMOR TES : 243 122

NIM : H311 08 266

HARI/TGL PELAKSANAAN : KAMIS/ 7 OKTOBER 2010
















JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2010
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pada dekade terakhir ini, masyarakat dunia termasuk Indonesia menghadapi krisis energi akibat menurunnya cadangan bahan bakar fosil, terutama minyak bumi yang merupakan bahan baku pembuatan gasoline, solar, dan bahan bakar minyak. Selama ini Indonesia terpaku pada energi fosil dan terlambat serta jauh tertinggal dalam mengembangkan sumber energi yang terbarukan.
Bahan bakar alternatif yang dapat terbarukan sangat perlu untuk dikembangkan mengingat bahwa kita tidak mungkin akan selamanya dapat menikmati kekayaan alam berupa minyak bumi yang tak terbarukan. Suatu saat, cadangan minyak bumi akan habis baik cepat maupun lambat. Salah satu sumber energi alternatif yang penggunaannya terbesar saat ini adalah biomas seperti selulosa kayu, jerami, alang-alang, dan sebagainya. Sumber energi ini sangat banyak terdapat di alam mencapai 70 % dari total seluruh energi kehidupan.
Salah satu produk energi alternatif biomas yang kurang terkenal di era ini adalah metanol. Penggunaannya sebagai sumber energi alternatif kurang mendapat perhatian daripada etanol. Padahal, metanol memiliki rantai karbon yang jauh lebih pendek daripada etanol sehingga akan lebih terbakar sempurna dan melepaskan gas buangan karbonmonoksida yang lebih sedikit.
Berdasarkan fakta ini, metanol kemungkinan akan sanggup untuk mengantarkan kita kepada tujuan menciptakan bahan bakar yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlunya dilakukan studi literatur mengenai metanol sebagai bahan bakar alternatif.


1.2 Tujuan
Tujuan dari studi literatur ini adalah menyelidiki kualitas metanol sebagai bahan bakar alternatif yang dapat mengarahkan kita pada bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Metanol lebih jarang digunakan sebagai sumber biofuel dibandingkan dengan etanol. Etanol adalah sumber biofuel utama saat ini. Etanol dan metanol dapat dibuat dari reaktan yang sama yaitu glukosa (Pratiwi dkk., 2006).
Ada dua cara pembuatan metanol. Pertama, melalui metode pirolisis produk biomas berbasis selulosa tanaman seperti kayu. Kedua, melalui reaksi metana dengan uap air pada suhu tinggi (Kuncorojati, 2010).
Pirolisis dimulai dengan memanaskan serpihan serbuk kayu tanpa udara dalam bejana besi dalam temperatur 500 oC. Hal ini mengakibatkan ikatan menjadi renggang dan dapat terputus. Akibatnya, selulosa dapat terurai menjadi glukosanya kemudian glukosa akan terurai lagi menjadi gas CO dan H2 (Kuncorojati, 2010). Hal ini karena terjadi perubahan fasa dari padat ke gas. Dalam keadaan gas, jarak antara molekul-molekul cukup besar sehingga molekul bergerak secara bebas ke segala arah dalam garis lurus (Atkins dan Paula, 2006). Reaksinya sebagai berikut (Kuncorojati, 2010) :

C6H12O6  6CO + 6H2
Campuran uap kemudian ditampung dan didinginkan. Campuran kemudian didistilasi untuk mendapatkan metanolnya. Distilasi dilakukan dengan prinsip perbedaan volatisitas antara metanol dengan zat-zat lain dalam campuran seperti air atau gas terlarut. Pendinginan campuran uap mengakibatkan terjadinya reaksi (Kuncorojati, 2010) :
CO + 2H2  CH3OH
Cara kedua yaitu reaksi metana dan uap air atau dengan gas O2. Pada tekanan sedang 1 hingga 2 MPa (10–20 atm) dan temperatur tinggi (sekitar 850 °C), metana bereaksi dengan uap air (steam) dengan katalis nikel untuk menghasilkan gas sintesis menurut reaksi kimia berikut (Pratiwi dkk., 2006) :
CH4 + H2O → CO + 3 H2
Reaksi ini, umumnya dinamakan steam-methane reforming atau SMR, merupakan reaksi endotermik dan limitasi perpindahan panasnya menjadi batasan dari ukuran reaktor katalitik yang digunakan (Pratiwi dkk., 2006).
Metana juga dapat mengalami oksidasi parsial dengan molekul oksigen untuk menghasilkan gas sintesis melalui reaksi kimia berikut (Pratiwi dkk., 2006):
2 CH4 + O2 → 2 CO + 4 H2
Reaksi ini adalah eksotermik dan panas yang dihasilkan dapat digunakan secara in-situ untuk menggerakkan reaksi steam-methane reforming. Ketika dua proses tersebut dikombinasikan, proses ini disebut sebagai autothermal reforming. Rasio CO and H2 dapat diatur dengan menggunakan reaksi perpindahan air-gas (the water-gas shift reaction) untuk menghasilkan stoikiometri yang sesuai dalam sintesis metanol (Pratiwi dkk., 2006):
CO + H2O → CO2 + H2
Karbonmonoksida dan hidrogen kemudian bereaksi dengan katalis kedua untuk menghasilkan metanol. Saat ini, katalis yang umum digunakan adalah campuran tembaga, seng oksida, dan alumina, yang pertama kali digunakan oleh ICI di tahun 1966. Pada 5–10 MPa (50–100 atm) dan 250 °C, ia dapat mengkatalisis produksi metanol dari karbon monoksida dan hidrogen dengan selektifitas yang tinggi (Pratiwi dkk., 2006):
CO + 2 H2 → CH3OH
Sangat perlu diperhatikan bahwa setiap produksi gas sintesis dari metana menghasilkan 3 mol hidrogen untuk setiap mol karbonmonoksida, sedangkan sintesis metanol hanya memerlukan 2 mol hidrogen untuk setiap mol karbonmonoksida. Salah satu cara mengatasi kelebihan hidrogen ini adalah dengan menginjeksikan karbondioksida ke dalam reaktor sintesis metanol, di mana ia akan bereaksi membentuk metanol sesuai dengan reaksi kimia berikut (Pratiwi dkk., 2006):
CO2 + 3 H2 → CH3OH + H2O
Berdasarkan penelitian, 1 km dapat ditempuh oleh mobil dengan menggunakan energi sebesar 3,46 x 106 Joule. Gasoline perliternya mengandung 3,46 x 107 J. Energi ini dapat digunakan untuk menjalankan mobil sejauh 10 km. Solar perliternya mengandung 3,86 x 107 J. Energi ini dapat digunakan untuk menjalankan mobil sejauh 11 km. Biodiesel perliternya mengandung energi 3,33 x 107 – 3,57 x 107 J. Energi ini dapat digunakan untuk menjalankan mobil sejauh 9,6 – 10,5 km (Fitrayadi, 2008).
Densitas metanol pada suhu 25 oC adalah 0,7914 gr/cm3. Massa molekul relatif metanol adalah 32,042 gram/mol (Lide, 2004). Entalpi pembakaran standar dari CH3OH adalah -726 kJ/mol. Berdasarkan data-data di atas, dapat kita hitung jumlah energi permol untuk metanol (Atkins dan Paula, 2006):
gr = ρV = 0,7914 g/cm3 x 1000 cm3 = 791,4 gram
n= gr/Mr = 791,4 gram/ 32,042 gram.mol-1 = 24,6988 mol
E = Δhco x n = -726 kJ/mol x 24,6988 mol = 17931,3288 kJ (mendekati 1,79 x 107 J)
Bahan bakar gas (BBG) semuanya memiliki densitas yang sangat kecil mendekati nol sehingga energi perliter yang dihasilkannya pun pastinya akan jauh lebih kecil daripada bahan bakar cair (Atkins dan Paula, 2006).
Etanol memiliki densitas 0,7893 g/cm3. Etanol memiliki massa molekul relatif sebesar 46,068 gram/mol (Lide, 2004). Entalpi pembakaran standar C2H5OH adalah -1368 kJ/mol. Kita juga dapat menghitung besarnya energi yang dihasilkan perliternya (Atkins dan Paula, 2006) :
gr = ρV = 0,7893 g/cm3 x 1000 cm3 = 789,3 gram
n= gr/Mr = 789,3 gram/ 46,068 gram.mol-1 = 17,1334 mol
E = Δhco x n = -1368 kJ/mol x 17,1334 mol = 23438,4912 kJ (mendekati 2,34 x 107 J)
Artinya dengan 1 L metanol, kita dapat menempuh 5,17 km perjalanan. Adapun dengan etanol, kita dapat menempuh 6,76 km perjalanan (Lide, 2004).
Metanol dapat digunakan sebagai senyawanya sendiri atau direaksikan dengan minyak seperti triolein (minyak zaitun) menjadi ester (metil oleat) dengan katalis NaOH dan hasil samping gliserol (Nelly dkk., 2004). Sebagai senyawanya sendiri, metanol pada suhu 15 oC dapat dicampurkan dengan BBM yang disebut dengan bioalkohol. Bioalkohol mampu menghasilkan panas yang lebih besar daripada BBM (Aklis, 2009).
Kandungan metanol dalam BBM tidaklah dapat melewati 15 % untuk campuran homogen tanpa menggunakan zat-zat tambahan (Fitrayadi, 2008). Hal ini karena produk alkana bersifat nonpolar sedangkan metanol bersifat polar sehingga kelarutan metanol adalah rendah dalam senyawa alkana (Tim Dosen Kimia Dasar, 2009). Tetapi pencampuran metanol pada BBM dengan kadar 15 % juga menimbulkan masalah terutama di daerah dingin. Hal ini karena pada suhu 0 oC, metanol tidak larut sepenuhnya dan tampak memisah dengan BBM (Fitrayadi, 2008). Semakin rendah suhu, maka kelarutan senyawa akan semakin rendah (Atkins dan Paula, 2006). Tetapi, metanol 15 % pun jika dibiarkan beberapa menit, juga akan memisah. Hal ini biasanya terjadi selama proses pembakaran (Fitrayadi, 2008).
Tidak hanya metanol, tetapi juga seluruh jenis senyawa alkohol lain memiliki kandungan air yang cukup besar. Hal ini karena metanol dan juga senyawa alkohol lain memiliki sifat hidrofilik yang kuat. Senyawa alkohol termasuk metanol dapat dengan mudah menarik uap air yang terdapat di atmosfer. Oleh karena itu, jika kandungannya pada BBM besar, maka akan menyebabkan korosi besi pada komponen mesin sehingga dapat merusak komponen mesin. Selain itu, karena pembakarannya yang terlalu cepat, maka memperbesar terjadinya knocking pada mesin kendaraan (Atkins dan Paula, 2006).
Kandungan metanol paling irit di mana bahan bakar menghasilkan karbonmonoksida paling sedikit dengan kandungan air seminimal mungkin adalah pada konsentrasi 5 %. Semakin rendah kadar metanol dalam BBM, maka gas buangan karbonmonoksida semakin besar tetapi kandungan airnya semakin kecil. Sebaliknya, semakin tinggi kadar metanol dalam BBM, maka gas buangan karbonmonoksida semakin kecil tetapi kandungan airnya semakin besar (Aklis, 2009).
Metanol juga dapat dibuat menjadi metil oleat dengan mereaksikannya terhadap triolein dengan katalis NaOH. Metil oleat memiliki kandungan air yang lebih sedikit daripada metanol. Reaksinya adalah sebagai berikut (Nelly dkk., 2004):

Gliserol sebagai hasil samping reaksi di atas juga dapat tergedradasi kembali menjadi metanol serta asetaldehid dan etanol. Produk utama dari degradasi gliserol pada kondisi dekat air superkritis adalah asetaldehid, metanol dan etanol. Produk terbentuk dari lintasan reaksi ionik dan reaksi radikal bebas yang saling berkompetisi pada kondisi dekat air superkritis. Distribusi dan terbentuknya produk pada berbagai temperatur ditunjukkan pada Tabel 1 (Rahmawati dan Anggraeni, 2009).
Tabel 1 Distribusi produk degradasi dari konsentrasi terbesar sampai terkecil
Temperatur Reaksi Produk Utama
200 oC Asetaldehid
250 oC Asetaldehid, metanol
300 oC Asetaldehid, metanol, etanol
350 oC Asetaldehid, metanol, etanol
400 oC Asetaldehid, metanol, etanol
Pembakaran semakin sempurna dengan bertambah pendeknya rantai karbon. Dengan mencampurkan metanol ke dalam bahan bakar minyak, maka akan meningkatkan bilangan oktan dari bahan bakar minyak tersebut (Cotton dan Wilkinson, 1989). Bahan aditif yang dapat ditambahkan dengan metanol agar kelarutannya dalam BBM semakin tinggi antara lain yang terbaik adalah sabun atau detergen (Zenta, 2009).
BAB III
PEMBAHASAN

Jikalau kita tinjau dengan seksama reaksi yang terjadi pada peristiwa pirolisis kayu :

C6H12O6  6CO + 6H2
CO + 2H2  CH3OH
Apabila reaksi kedua kita kalikan dengan n dan reaksi ketiga kita kalikan dengan 3n :

nC6H12O6  6nCO + 6nH2
3nCO + 6nH2  3nCH3OH
Maka akan kita dapatkan reaksi total sebagai berikut :
(C6H12O6)n  3nCO + 3nCH3OH
Terlihat bahwa ternyata untuk setiap pirolisis 1 mol selulosa, tidak hanya menghasilkan 3n mol CH3OH tetapi juga 3n mol CO. Senyawa ini kemungkinan besar terkandung pada campuran larutan yang akan didistilasi sebagai gas terlarut. Pada proses distilasi, gas ini pasti akan keluar bergabung dengan udara di atmosfer. Seperti kita ketahui bersama bahwa gas karbonmonoksida dapat berikatan dengan hemoglobin darah 210 kali lebih kuat daripada ikatan hemoglobin dengan gas O2.
Sintesis metanol dengan bahan dasar metana pun bukan merupakan solusi. Metana adalah salah satu produk gas alam yang termasuk langka walaupun tidak selangka minyak bumi. Sintesis metana dari kotoran ternak memang telah ditemukan tetapi produksi yang sedikit itu tidak akan mungkin cukup sebagai bahan baku sintesis metanol.
Sintesis bahan bakar metanol yang ramah lingkungan melalui metode pirolisis memang cukup menjanjikan di masa yang akan datang. Namun, perlu dipikirkan agar gas karbonmonoksida sebagai hasil sampingnya dapat dipastikan tidak akan menimbulkan bahaya bagi tubuh dan lingkungan. Mungkin, yang dapat dilakukan untuk mengolah gas karbonmonoksida ini adalah dengan mereakiskannya terhadap radikal phenil yang terbentuk dari pemutusan ikatan senyawa peroksida secara radikal dengan menambahkan pula senyawa benzaldehid dalam reaksi (Norman, 1978):


Produk yang terbentuk adalah asam benzoat yang dalam keadaan padatannya dapat dibuat sebagai bahan pengembang kue.
Perbandingan energi perliter dari metanol dan berbagai bahan bakar adalah metanol : gasoline : solar : biodiesel : etanol : BBG = 1: 1,93 : 2,16 : 1,92 : 1,31 : sangat kecil. Terlihat bahwa dari segi energi, metanol memiliki energi yang lebih rendah dari bahan bakar lain kecuali BBG.
Walaupun metanol memiliki energi yang lebih kecil perliternya dibandingkan dengan bahan bakar lainnya seperti gasoline, solar, maupun biodiesel, tetapi pembakarannya jauh lebih sempurna sehingga mengurangi pembentukan gas karbonmonoksida yang beracun bagi tubuh serta karbon hitam yang membuat mesin kendaraan menjadi gosong. Dibandingkan dengan BBG, metanol jauh lebih aman secara fisik karena BBG mudah meledak. Tetapi karena sifatnya yang korosif dan menyebabkan knocking, maka menjadi pertimbangan sendiri untuk memakainya sebagai bahan bakar.
Yang menjadi masalah bukanlah bagaimana pada pembuatan bahan bakar metanol, metanolnya bebas dari air, tetapi bagaimana supaya metanol tidak menarik uap air dari atmosfer selama berada dalam mesin. Metanol dapat dengan mudah menarik uap air dari atmosfer ke dalamnya. Air pada bahan bakar metanol tidak dapat dihindari. Yang dapat dimodifikasi hanyalah mesinnya. Sebaiknya digunakan logam pada mesin yang tidak dapat berkarat. Lapisan Al2O3 yang terbentuk dari proses korosi sekali pun tidak mungkin berguna melindungi logam Al karena di dalam mesin terjadi sangat banyak dentuman-dentuman dan gesekan-gesekan. Kita ketahui bersama bahwa potensial reduksi standar dari H2O dan O2 yang dapat menyebabkan korosi logam adalah sesuai dengan reaksi berikut : O2 + H2O 4e-  4OH- Eo = + 0,40 V. Jadi, supaya mesin tidak berkarat, maka harus digunakan logam yang potensial reduksi standarnya lebih besar dari + 0,40 V. Selain itu, tentu saja harus logam yang memiliki kekerasan yang tinggi sehingga tahan terhadap gesekan antarmesin dan dapat ditempa. Logam-logam yang seperti itu hanya ada 3 yang ditemukan sampai saat ini, yaitu Ag (Ag+ + e-  Ag Eo= +0,80 V), Au (Au+ + e-  Au Eo = + 1,69 V, Au3+ + 3e-  Au + 1,40 V), dan Pt (Pt2+ +2e-  =1,20 V). Ketiga logam di atas adalah logam mulia yang mahal sehingga tidak akan ada orang yang tega membuatnya menjadi komponen mesin. Jadi, biasanya orang-orang menggunakan stainless steel untuk mengatasi korosi ini (Sunardi, 2007). Tetapi hal itu sebenarnya tidaklah tepat karena stainless steel masih dapat terkorosi walaupun lebih lambat daripada besi. Ini adalah tantangan yang besar sebenarnya bagi ilmuwan kimia untuk menemukan paduan logam yang memiliki potensial reduksi standar lebih besar daripada + 0,40 Volt sehingga tidak dapat terkorosi oleh udara. Perlu diketahui bersama, BBM 100 % pun tetap mengandung H2O.
Selain itu, karena pembakaran yang terlalu cepat maka semakin memicu terjadinya knocking. Metanol dengan bahan bakar minyak pun bukanlah perpaduan larutan yang baik karena kedunya tidak saling melarutkan secara sempurna sehingga harus betul-betul diperhatikan komposisinya agar dapat tetap dalam satu fasa pada suhu berapa pun yang mungkin dicapainya. Pengubahan bentuk metanol menjadi metil ester juga bukan solusi yang tepat untuk dapat digunakan 100 % pada bahan bakar seperti biodiesel yang diupayakan berkembang di Eropa karena ternyata kandungan air di dalamnya masih cukup tinggi untuk terjadinya korosi.
Kandungan metanol dapat ditingkatkan dengan penggunaan bahan aditif seperti sabun atau detergen. Hal ini karena sabun dan detergen dapat mengikat metanol yang polar pada bagian abu alkalinya sekaligus mengikat senyawa hidrokarbon pada bahan bakar minyak yang nonpolar pada bagian asam lemak atau gliserolnya. Hal ini memungkinkan dibuatnya metanol 20 % atau bahkan lebih. Namun, perlu diingat bahwa semakin banyak kandungan metanol dalam BBM juga mendorong semakin besar terjadinya korosi dan knocking.
Kelarutan suatu senyawa berkurang dengan menurunnya suhu. Akibatnya, pada daerah dingin, kita tidak dapat membuat metanol 15 % dalam BBM. Selain itu, metanol 15 % dapat dengan sendirinya memisah dengan BBM selama proses pembakaran. Hal ini mungkin karena selama proses pembakaran, metanol mengadakan kontak dengan udara yang mengandung uap air. Metanol akan menyerap uap air sehingga metanol semakin dijenuhkan oleh kandungan air. Akibatnya, dalam beberapa menit, metanol akan memisah dari BBM.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, baik metanol maupun dalam bentuk metil esternya sebaiknya digunakan dalam konsentrasi 5 % sampai kurang dari 15 % saja untuk menjaga keawetan mesin kendaraan dan untuk menjaga kemungkinan metanol dan BBM tidak akan memisah pada penurunan suhu.
Etanol sebagai bahan aditif BBM yang selama ini digunakan sebaiknya digantikan saja dengan metanol. Metanol dan etanol sama-sama dapat menyebabkan bertambah cepatnya korosi besi. Tetapi, metanol memiliki pembakaran yang lebih sempurna daripada etanol dan juga metanol lebih kurang polar dibandingkan dengan etanol sehingga dapat bercampur lebih baik pada senyawa alifatik hidrokarbon seperti yang terdapat pada bahan bakar kendaraan.
Walaupun sekarang ini para ahli sedang gencar-gencarnya melakukan penelitian untuk menemukan sumber energi terbarukan, kita sebagai pengguna harus bijak agar jangan sampai akan timbul masalah baru berupa krisis pangan akibat pangan dijadikan sumber sintesis bahan bakar atau persaingan lahan antara tanaman pangan dengan tanaman biofuel. Tetap menghemat energi dan jauhi sikap boros.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Metanol memiliki pembakaran yang lebih sempurna sehingga gas karbonmonoksida sebagai hasil samping reaksi yang utama yang dihasilkan semakin sedikit. Namun, penggunaan metanol menimbulkan masalah baru yaitu seperti senyawa alkohol lain, bahan bakar metanol mempercepat korosi mesin kendaraan. Selain itu, sintesis bahan bakar metanol dengan metode pirolisis cenderung berbahaya karena menghasilkan gas karbonmonoksida sebagai hasil samping. Begitu pula dengan metode reaksi metana dengan uap air yang bukan merupakan solusi karena kelangkaan dari metana itu sendiri. Selain itu, pembakarannya yang terlalu cepat dapat menimbulkan knocking pada mesin kendaraan.
Metanol ke depannya dapat diarahkan untuk menciptakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, namun harus dikembangkan penelitian tentang bagaimana sintesis metanol yang membutuhkan energi seefisien mungkin tetapi aman bagi kesehatan tubuh dan lingkungan. Selain itu, harus dikembangkan pula penelitian mengenai modifikasi metanol agar tidak menyebabkan rusaknya mesin kendaraan misalnya karena korosi atau knocking.
DAFTAR PUSTAKA



Aklis, N., 2009, Uji Prestasi Mesin Motor Bensin dengan Bahan Bakar B-5 Bioethanol Biji Mangga dan B-5 Ethanol Pasar, Jurnal Penelitian Sains & Teknologi (online), 10, 92-100, http://www.google.co.id, diakses pada tanggal 4 Oktober 2010 pada pukul 08.30.

Anonim, 2009, Metanol, http://id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 2 Oktober 2010 pukul 15.00 WITA.

Atkins, P., dan Paula, J. D., 2006, Physical Chemistry, Oxford University press, London.

Cotton, F. A., dan Wilkinson, G., 1989, Kimia Anorganik Dasar, UI press, Jakarta.

Fitrayadi, D., 2008, Penggunaan Metanol sebagai Bahan Aditif untuk Meningkatkan Angka Oktan pada Bensin yang Ramah Lingkungan (online), diakses pada tanggal 4 Oktober 210 pukul 11.00 WITA.

Lide, D. R., 2004, CRC Handbook of Chemistry and Physics, (online), http://www.google.com, diakses pada tanggal 9 Maret 2010 pukul 14.40 WITA.

Ma’arif, A., 2010, Pirolisis, http://arumaarifu.wordpress.com, diakses pada tanggal 2 Oktober 2010 pukul 12.30 WITA.

Nelly, Fransiska, A., Nyoto, H., dan Utomo, J., 2004, Perancangan Awal Pabrik Biodiesel dari Minyak Jelantah Sawit, Prosiding (online), 10, 101-106, http:// www.google.co.id, diakses pada tanggal 4 Oktober 2010 pukul 10.10 WITA.

Norman, R. O. C., 1978, Principles of Organic Synthesis, Chapman and Hall, London.

Pratiwi, D. A., Maryati, S., Srikini, Suharno, dan Bambang, 2006, Biologi, Erlangga, Jakarta.

Putut, S., 2010, Proses Fermentasi Etanol, http://id.answers.yahoo.com, diakses pada tanggal 3 Oktober 2010 pukul 12.00 WITA.

Rahmawati, E. K., dan Anggraeni, Y., 2009, Degradasi Gliserol Menjadi Produk Kimia Antara (Chemical Intermediate Product) pada Kondisi Dekat Air Superkritis (online), http:// www.google.co.id, diakses pada tanggal 4 Oktober 2010 pukul 10.25 WITA.

Sukardi, 2007, 116 Unsur Kimia Deskriptif dan Pemanfaatannya, Yrama Widya, Bandung.

Tim Dosen Kimia Dasar, 2009, Kimia Organik Dasar, UPT MKU Unhas, Makassar.

Zenta, F., 2009, Teknik Laboratorium Kimia Organik, Unhas press, Makassar.

SINERGITAS ANTARA KOBALT (Co) DAN BORON (B)

Kobalt adalah unsur kimia yang berkilauan dengan warna metalik keabu-abuan. Unsur kimia kobalt merupakan suatu unsur dengan sifat rapuh agak keras dan mengandung metal serta kaya sifat magnetis yang serupa setrika. Unsur kobaltlah yang bertanggung jawab pada warna gelas atau kaca komersil yakni berupa warna kebiruan.
Berbeda dengan kobalt yang rapuh, boron selalu membentuk senyawa yang keras. Unsur Boron sendiri tidak terdapat di alam secara bebas. Oleh karena itu, sangat sedikit pengetahuan yang kita ketahui tentang boron. Boron mirip dengan karbon dalam memiliki kapasitas membentuk jaringan molekul dengan ikatan kovalen.
Berikut 3 contoh mengenai sinergitas antara Cobalt dan Boron:
1. Metabolisme vitamin dan mineral khususnya Kalsium. Berdasarkan penelitian, Boron memiliki efek biokimia tertentu bagi darah dalam hubungannya dengan metabolisme energi dan mineral. Secara spesifik, boron diduga memiliki peran yang penting bagi pemanfaatan energi dan perkembangan serta pemeliharaan tulang. Hal ini dikaitkan pada fungsi Boron yang dapat merangsang kerja hormon estrogen atau hormon testosteron. Boron diduga memiliki hubungan kuat dengan metabolisme vitamin D. Salah satu penelitian telah membuktikan bahwa hewan percobaan yang diberi ransum tanpa boron, mengalami kehilangan kalsium total yang tinggi, serta gangguan glukosa, lemak, insulin, dan penurunan perkembangan tulang. Jikalau Boron bertanggung jawab pada metabolisme vitamin dan mineral secara hormonal, maka Kobalt bertanggung jawab pada metabolisme vitamin dan mineral melalui rangsangan pembentukan sel darah merah di mana sel darah merah mengangkut vitamin dan mineral melalui sistem peredaran darah.
2. Pembuatan kaca berwarna komersil. Sudah ada industri walaupun sedikit saat ini yang memadukan Boron dan Kobalt sebagai zat warna pada pembuatan kaca dan serat gelas. Boron memiliki karakteristik warna hijau sedangkan Kobalt memiliki karakteristik berwarna kebiruan.
3. Pembuatan bola energi. Penelitian terkini saat ini berlandaskan pemikiran bahwa senyawa Boron sangat mudah mengalami reaksi pelepasan gas hidrogen sedangkan Kobalt rapuh pada aliansinya, unsur Kobalt dan serbuk boron digabung dalam bentuk aliansi sehingga dihasilkan suatu bola energi. Bola energi mudah memisah akibat rapuhnya Kobalt. Ketika memisah, Boron dengan segera melepaskan gas hidrogen disertai dengan dikeluarkannya sejumlah besar energi.

Pengaruh Peminuman Paracetamol

Paracetamol adalah salah satu jenis produk obat asetaminofen. Asetaminofen memiiki rumus struktur sebagai berikut :

Asetaminofen yang salah satu jenis produknya adalah Paracetamol sering digunakan oleh ahli kesehatan di Indonesia sebagai obat analgesik (pereda rasa nyeri) dan antipiretik (penurun demam karena rasa nyeri). Obat jenis ini lebih baik daripada anilin dan p-amino fenol dengan rumus struktur :

Karena efek toksisitas dari anilin dan p-amino fenol jauh lebih besar jika dibandingkan dengan asetaminofen. Hal ini karena gugus amin pada kedua senyawa itu menyebabkan teroksidasinya Fe2+ pada hemoglobin menjadi Fe3+ sehingga menjadi methemoglobin yang tidak aktif mengikat oksigen. Dengan demikian, sel darah merah kehilangan kemampuannya sebagai media transportasi untuk membawa oksigen ke seluruh jaringan yang membutuhkannya.
Asetaminofen secara toksikologi jauh lebih aman dibandingkan dengan anilin dan p-amino fenol karena gugus amin tergantikan oleh gugus asetil. Walaupun demikian, dalam dosis tinggi dan pemakaian jangka panjang, asetaminofen juga dapat memberikan beberapa efek toksik karena adanya gugus karbonil, yaitu :
1. Mengubah hemoglobin menjadi methemoglobin dengan pembentukan H2O2 dengan reaksi sebagai berikut:

2Fe2+ + H2O2 + 2H+  2Fe3+ + 2H2O
2. Menimbulkan kerusakan hati
Karena pada jalur biotransformasi normal, yaitu konjugasi dengan glutation, dapat membentuk metabolit reaktif yang mampu mengikat jaringan hati secara tak terpulihkan.
Asetaminofen diberikan secara oral ke tubuh. Ada 3 gugus fungsi yang terdapat pada asetaminofen, yaitu OH, C=O, dan CH3. Berikut penjelasan mengenai fungsi gugus-gugus fungsi tersebut :
1. Adanya gugus OH tersubstitusi para pada asetaminofen menjadikan kelarutannya dalam air menjadi lebih tinggi. Hal ini diperlukan agar ketika obat ini ditelan maka obat ini akan segera larut dalam air sehingga mempercepat metabolismenya. Berbeda dengan fenasetin yang menggunakan gugus OC2H5 sehingga kurang larut dalam air. Adanya gugus OH ini di mana pasangan elektron bebas di atom O ikut terdelokalisasi pada senyawa aromatiknya menyebabkan asetaminofen bersifat asam lemah di mana jika senyawa ini berada pada lambung yang bersifat asam, akan terdapat dalam bentuk tidak terionisasi yang mudah larut dalam lemak sehingga mudah menembus membran lambung sehingga ketika mencapai lambung, langsung terserap ke pembuluh darah dan menuju ke pusat nyeri.
2. Gugus C=O merupakan inti dari obat asetaminofen ini. Gugus inilah yang secara aktif menghilangkan rasa nyeri melalui interaksi dipol-dipol. Seperti kita ketahui bersama bahwa nyeri terjadi jika organ tubuh, otot, atau kulit terluka oleh benturan, penyakit, keram, atau bengkak. Rangsangan penimbul nyeri umumnya punya kemampuan menyebabkan sel-sel melepaskan enzim proteolitik (pengurai protein) dan polipeptida yang merangsang ujung saraf yang kemudian menimbulkan impuls nyeri. Senyawa kimia dalam tubuh yang disebut prostaglandin beraksi membuat ujung saraf menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri oleh polipeptida ini. Dengan pemberian obat asetaminofen ini, maka akan meredakan rasa nyeri karena menghambat polipeptida merangsang sistem saraf memberikan impuls nyeri dengan pembentukan ikatan dipol-dipol antara asetaminofen dengan polipeptida :

Gugus karbonilah pada asetaminofen yang menjalankan fungsi analgesik. Hal ini terbukti jika gugus karbonil ini diganti dengan gugus metilen (-CH2-), aktivitas analgesiknya akan hilang.
3. Penggunaan gugus CH3 sebagai gugus yang terikat dengan karbonil ialah untuk melindungi gugus karbonil yang mudah dimetabolisis dari serangan metabolik. Hal ini akan memperpanjang masa kerja obat sekaligus mengurangi efek pembentukan hidrogen peroksida (H2O2) yang menjadi faktor utama pembentukan methemoglobin dari hemoglobin melalui reaksi redoks.


Daftar Pustaka :
Schumm, D. E., 1993, Intisari Biokimia, Binarupa Aksara, Jakarta.

Siswandono, dan Soekardjo, B, 1995, Kimia Medisinal, Airlangga University press, Surabaya.

Tim Dosen Biokimia, 2009, Bahan Ajar Biokimia Lanjutan, Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universita Hasanuddin, Makassar.
http://www.farmasiku.com

Teori HSAB

HSAB yang merupakan singkatan dari hard-soft of acids and bases merupakan teori yang menjelaskan tentang keras lunaknya suatu asam dan basa. konsep ini menentukan kekuatan suatu ion logam tetapi sekali lagi bahwa konsep ini berbeda dengan asam-basa kuat dan lemah seperti pembagian asam-basa secara umumnya.
Syarat-syarat Asam-basa keras (hard):
1.Jari-jari atom kecil
2.Bilangan oksidasinya tinggi
3.polaritasnya rendah
4.elektronegatifitasnya tinggi
Contoh-contoh dari asam keras antara lain H+, Na+, Li+, K+, Ti4+, Cr3+, Cr6+,BF3, R3C+, dsb. adapun contoh-contoh dari basa keras antara lain OH-, OR-, F-,Cl-, NH3, CH3COO-, N2H4, CO3 2-, dsb.
Syarat-syarat Asam-Basa lunak (soft)
1. Jari-jari atom
2. Bilangan oksidasinya rendah
3. Polaritasnya tinggi
4. Ekektronegatifitasnya rendah
Contoh-contoh dari asam lunak antara lain Hg2+, Hg2 2+, Pt4+, Pd2+,Ag+, BH3, Au+, dsb. Adapun contoh-contoh dari basa lunak antara lain H-, RS-,I-, PR3,SCN-, CO,C6H6, dsb.
Asam keras membentuk senyawa garam yang stabil dengan basa keras. Adapun asam lunak membentuk senyawa garam yang stabil dengan basa lunak. oleh karena itu, jika tubuh kita keracunan Cadmium yang merupakan asam lunak sebaiknya kita menetralisirnya dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung basa lunak seperti RS- misalnya terdapatpada susu. Tetapi, jika tubuh kita keracunan asam keras seperti Cromium, kita harus pula mengkonsumsi makanan yang mengandung basa keras seperti OR- yang misalnya terdapat pada kunyit. jadi, tidaklah tepat mengkonsumsi susu jika kita keracunan cromium begitupun tidak tepat jika kita mengkonsumsi kunyit bila keracunan Cadmium karena logam berat itu tetap tidak akan keluar dari tubuh.

Geokimia (Komposisi Kulit Bumi)

Kulit bumi terutama dari batuan-batuan beku berupa batuan-batuan beku berupa batuan endapan dan batuan metamorf
a. Batuan endapan
Batuan beku diperoleh karena adanya proses pembekuan dari zat-zat pada saat terjadi pembemukan bumi. Batuan beku terjadi karena adanya lumpur yang terbawa oleh air sungai sehingga terjadi endapan (sebagai akibat reaksi kimia).
b. Batuan Metamorf
Batuan metamorf adalah batuan yang terjadi dari perubahan batuan satu ke batuan lain yang diakibatkan oleh adanya pengaruh tekanan, panas, dan sebagainya. Dalam banyak hal, komposisi mereka tidak ada perbedaan.
Clark dan Washington (1924) memperkirakan bahwa kedalaman 16 km bumi terdiri dari, 95 % batuan beku, 4 % shale (batuan tertentu), 0,75 % batu pasir, dan 0,25 % batu kapur. Juga Clark dan Washington telah melakukan 5159 analisa batuan beku dan ia hitung rata-ratanya dan memperoleh komposisi batuan beku seperti berikut:
SiO2 (60,18 %), Al2O3 (15,61 %), Fe2O3 (3,14 %), FeO (3,88 %), MgO (3,56 %), CaO (5,17 %), Na2O (3,91 %), K2O (3,19 %), TiO2 (1,06 %), P2O5 (0,3 %).
Pada perhitungan analisa di atas di mana H2O dan kandungan yang paling kecil diabaikan. Dari hasil analisa ini sebagian orang tidak setuju karena 3 hal:
1. Distribusi geofisika analisa tidak merata karena cuplikan hanya diambil pada sekitar Amerika Utara dan Eropa, artinya apakah dengan cuplikan dari Amerika Utara dan Eropa sudah cukup untuk diambil sebagai cuplikan kerak bumi.
2. Jenis-jenis batuan kurang merata, sebab jenis-jenis batuan yang dianalisa itu adalah yang aneh-aneh.
3. Semua cuplikan dianggap sama (dinilai sama), maksudnya dalam menganalisa satu jenis batuan misalnya dengan mengambil 1 kg maka hasilnya dianggap sama. Padahal dengan mengambil 1 kg dari satu jenis batuan tidak mungkin hasil yang diperoleh dapat mewakili jenis batuan tersebut.
Goldschidt menganalisa 77 cuplikan yang berbeda, hasil analisa rata-rata diperoleh sebagai berikut:
SiO2 (59,12 %), Al2O3 (15,82 %), Fe2O3 + FeO (6,99 %), MgO (3,3 %), CaO (3,07 %), Na2O(2,05 %), K2O (3,93 %), H2O (3,02 %), TiO2 (0,79 %), P2O5 (0,22 %)
Goldschmidt beranggapan apabila memungkinkan untuk mendapatkan suatu cuplikan rata-rata dari sejumlah besar kulit bumi yang utamanya terdiri dari batuan kristal maka analisanya memberikan suatu gambaran
bersambung

Prinsip Le Chatelier

Adalah mudah untuk menunjukkan bagaimana suatu perubahan pada temperatur atau tekanan mempengaruhi nilai kemajuan kesetimbangan kimia (ee) dari suatu reaksi. Kita hanya perlu menentukan tanda turunan (dex/dT)P dan (dee/dP)T.
(dG/dee)T,P = dG0 + RT ln Qp
Qp = Qx.(P)pangkat delta v, sehingga
(dG/dee)T,P = dG0 + RT ln Qx + delta v.RT ln P (*)
Hasil diferensiasi persamaan di atas pada T dan P konstan adalah:
(d2G/de2)T,P = RT d ln Qp/de
Untuk penyederhanaan penulisan, G1=(dG/de)T,P dan G11=(d2G/de2)T,P. pada kesetimbangan G minimum, sehingga G1e=0 dan G11e positif. Qx dan Kx mempunyai fungsionalitas sama dalam e dan ee, lalu penurunan d ln Qx/de dan d ln Kx/de mempunyai bentuk fungsional sama,
Pada kesetimbangan, (d ln Qx/de)e = d ln Kx/dee
Sehingga d ln Kx/dee = G11e/RT (#)
Penerapan kondisi kesetimbangan, G1e=0, ke persamaan * setelah dibagi dengan RT, diperoleh
0 = dG0/RT + ln Kx + delta v ln P (^)
Hasil diferensiasi persamaan di atas pada T dan P konstan adalah
0 = (1/R)(d(deltaG0/T)/dT) + d ln Kx/dee (dee/dT)P
Gabungan persamaan Gibbs-Helmholtz dan persamaan # menghasilkan
(dee/dT)P = delta H0/T.G11e (1)
Diferensiasi persamaan ^ pada P dan T konstan, menghasilkan
0= d ln Kx/dee (dee/dP)T + delta v/P
Sehingga (dee/dP)T = - delta v. RT/P. G11e (2)
Persamaan 1 dan 2 adalah pernyataan kuantitatif dari prinsip Le Chatelier, yang menguraikan kebergantungan kesetimbangan reaksi pada temperatur dan tekanan. Karena G11e adalah positif, tanda (dee/dT)P bergantung pada tanda delta H0. Jika delta H0 = +, reaksi endoterm, sehingga (dee/dT)P = +, penambahan temperatur menaikkan derajat keberlangsungan reaksi pada kesetimbangan. Untuk reaksi eksoterm, delta H0 = -, maka (dee/dT)P = -, kenaikan temperatur menurunkan derajat keberlangsungan reaksi kesetimbangan.
Tanda (dee/dP)T bergantung pada delta v, jika delta v = -, volume produk lebih kecil daripada volume reaktan, (dee/dP)T = +, kenaikan tekanan menaikkan derajat keberlangsungan reaksi kesetimbangan.
Efek total dari hubungan ini adalah bahwa kenaikan tekanan menggeser kesetimbangan kea rah yang volumenya rendah sedangkan penurunan tekanan menggeser kesetimbangan ke arah yang volumenya tinggi. Kenaikan temperatur menggeser kesetimbangan ke arah yang yang entalpinya tinggi sedangkan penurunan temperatur menggeser kesetimbangan ke arah yang entalpinya rendah.
Prinsip Le Chatelier dapat dinyatakan sebagai berikut : jika gangguan eksternal diberikan pada sistem kesetmbangan, kesetimbangan akan bergeser sedemikian rupa untuk mengurangi efek dari gangguan tersebut.

KESETIMBANGAN ELEKTROKIMIA

Elektrokimia adalah cabang ilmu yang mempelajari tentang energi listrik dan reaksi kimia yaitu :
• reaksi kimia yang disebabkan oleh energi listrik
• reaksi kimia yang menghasilkan energi listrik
Sel elektrokomia alat yang dapat membuat interaksi energi kimia dengan energi listrik.

Sel elektrokimia terdiri atas :
- Dua elektroda atau konduktor logam yang kontak dengan elektrolit
- Elektrolit atau konduktor ionik (larutan atau cairan)

Elektroda dan elektrolit membentuk kompartemen elektroda. Kedua elektroda dapat menggunakan kompartemen yang sama. Jika elektrolit berbeda, kedua kompartemen dapat dihubungkan melalui jembatan garam (merupakan tabung berbentuk Uyang mengandung larutan elektrolit pekat misalnya kalium klorida dalam jeli agar) yang melengkapi rangkaian listrik dan memungkinkan sel untuk berfungsi.

Sel elektrokimia ada dua macam yaitu:
1. Sel galvani :
Sel elektrokimia yang menghasilkan arus listrik sebagai akibat dari reaksi spontan yang terjadi di dalamnya.
2. Sel elektrolisis :
Sel elektroikimia dimana reaksi tidak spontan dijalankan oleh arus listrik eksternal.

6.2. Reaksi Setengah dan Elektroda

Reaksi oksidasi reduksi adalah reaksi dimana terjadi transfer elektron dari satu zat ke zat yang lain.
• Reaksi Oksidasi : - terjadi pelepasan elektron
- peningkatan bilangan oksidasi
• Reaksi reduksi : - terjadi penerimaan elektron
- penurunan bilangan oksidasi
• Zat pereduksi (reduktan atau reduktor) : donor elektron
• Zat pengoksidasi (oksidan atau oksidator) : akseptor elektron.
• Zat yang dioksidasi : kehilangan elektron
• Zat yang direduksi : menerima elektron.

6.2.1. Reaksi Setengah
Setiap reaksi redoks dapat diekspresikan sebagai selisih dua reaksi setengah reduksi.
Contoh: reduksi ion-ion Cu2+ oleh Zn dapat diekspresikan sebagai selisih dua reaksi setengah berikut:

Reduksi Cu2+(aq) + 2 e- --> Cu(s)
Reduksi Zn2+(aq) + 2 e- --> Zn(s)

Cu2+(aq) + Zn(s) --> Zn2+(aq) + Cu(s)

Atau reaksi dapat digambarkan sebagai berikut:
Reduksi Cu2+(aq) + 2 e- --> Cu(s)
Oksidasi Zn(s) --> Zn2+(aq) + 2 e-

Cu2+(aq) + Zn(s) --> Zn2+(aq) + Cu(s)

Zat-zat yang dioksidasi dan direduksi dalam reaksi setengah membentuk pasangan redoks yang diberi notasi Oks/Red.


Jadi untuk reaksi di atas pasangan redoks :
Cu2+/Cu dan Zn2+/Zn.
Secara umum pasangan redoks dituliskan Oks/Red dan reaksi setengah reduksi dituliskan sebagai:
Oks + e- --> Red (6.1)

6.2.2. Reaksi-reaksi pada Elektroda
Dalam sel elektrokimia, proses oksidasi dan reduksi terjadi pada tempat yang terpisah :
oksidasi terjadi pada satu kompartemen elektroda dan reduksi terjadi pada kompartemen elektroda lain.

Reaksi oksidasi :
Red1 --> Oks1 + n e-
Reaksi reduksi
Oks2 + n e- --> Red2
Sel elektrokimia memiliki dua elektroda yaitu :
1. Katoda : terjadi reaksi Reduksi
2. Anoda : terjadi reaksi Oksidasi
6.3. Jenis-jenis Sel
Jenis-jenis sel Galvani adalah sebagai berikut :
• Sel paling sederhana : mempunyai elektrolit tunggal yang sama untuk kedua elektroda
• Sel Daniel, elektroda-elektroda dicelupkan dalam elektrolit yang berbeda dimana pasangan redoks pada satu elektroda adalah Cu2+/Cu dan pada elektroda lain adalah Zn2+/ Zn

• Sel konsentrasi elektrolit, kompartemen elektroda sama tetapi konsentrasi elektrolit berbeda

• Sel konsentrasi elektroda, elektrodanya sendiri yang mempunyai konsentrasi berbeda, ini disebabkan oleh :
- elektrodanya merupakan elektroda gas yang beroperasi pada tekanan yang berbeda
- elektrodanya merupakan amalgama (larutan dalam merkuri) dengan konsentrasi berbeda.

6.3.1. Potensial Batas Cairan

• Dalam sel dengan dua larutan elektrolit berbeda yang berhubungan satu sama lain seperti pada sel Daniel, ada sumber potensial yang lain yang disebut potensial batas cairan (liquid junction potential = E) sepanjang antar muka dari kedua elektrolit.
• Sel konsentrasi elektrolit selalu mempunyai potensial batas tetapi sel konsentrasi elektroda tidak memiliki potensial batas.
• Kontribusi potensial batas cairan dapat diturunkan (menjadi 1 – 2 mV) dengan menghubungkan kompartemen elektrolit melalui jembatan garam
6.3.2. Notasi Sel

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menuliskan notasi sel :
• Batas fase diberi simbol garis vertikal(/)

Misal:
Pt(s)/H2(g) /HCl(aq) //AgCl(s) /Ag(s)
• Batas cairan diberi notasi tiga titik bersusun vertikal

Misal
Zn(s)/ZnSO4(aq): CuSO4(aq) /Cu(s)

• Garis vertikal ganda (//) menyatakan penyekat( ada jembatan garam yang menghubungkan kedua elektrolit), diberikan untuk sel dimana potensial batas telah dieliminasi.


Misal
Zn(s) /ZnSO4(aq) // CuSO4(aq) /Cu(s)

• Notasi sel konsentrasi elektrolit, dimana potensial batas cairan dianggap tidak ada, dituliskan seperti :

Pt(s)/H2(g)/HCl (aq,b1) // HCl(aq,b2)/H2(g) /Pt(s)
6.4. Reaksi Sel

Arus yang dihasilkan oleh sel galvani disebabkan oleh terjadinya reaksi kimia secara spontan. Reaksi sel adalah reaksi dalam sel yang dituliskan dengan asumsi bahwa elektroda pada bagian kanan adalah katoda. Sehingga reaksi spontan adalah reaksi dimana reduksi terjadi pada kompartemen bagian kanan.

Jika kompartemen kanan berfungsi sebagai katoda, reaksi spontan adalah reaksi reduksi.
Jika kompartemen kiri berfungsi sebagai katoda, reaksi spontan adalah reaksi oksidasi.

Untuk menuliskan reaksi sel yang berhubungan dengan notasi sel,
1. Reaksi reduksi dituliskan di bagian kanan kemudian diperkurangkan dengan reaksi reduksi yang dituliskan di bagian kiri.
2. Bagian kanan adalah katoda dimana terjadi reaksi reduksi dan bagian kiri adalah anoda dimana terjadi reaksi oksidasi. Kemudian reaksi reduksi dan oksidasi dijumlahkan untuk mendapatkan reaksi sel.

Contoh:
Zn(s) /ZnSO4(aq) // CuSO4(aq) /Cu(s)
Reaksi reduksi kedua elektroda dituliskan sebagai berikut:
Kanan Cu2+(aq) + 2 e- --> Cu(s)
Kiri Zn2+(aq) + 2 e- --> Zn(s)

Reaksi sel Cu2+(aq) + Zn(s) --> Cu(s) + Zn2+(aq)
atau
Kanan Cu2+(aq) + 2 e- --> Cu(s) (reduksi)
Kiri Zn(s) --> Zn2+(aq) + 2 e- (oksidasi)

Reaksi sel Cu2+(aq) + Zn(s) --> Cu(s) + Zn2+(aq)
6.5. Potensial sel
Sel dimana reaksi sel keseluruhan tidak mencapai kesetimbangan kimia dapat melakukan kerja listrik karena reaksi menyebabkan aliran elektron melalui rangkaian luar. Kerja yang dihasilkan bergantung pada perbedaan potensial antara kedua elektroda. Perbedaan potensial ini disebut potensial sel dan diukur dalam Volt (V). Jika potensial sel besar, maka sejumlah elektron tertentu yang bergerak antara elektroda-elektroda, dapat melakukan kerja listrik yang besar. Jika potensial sel kecil, sejumlah elektron yang sama hanya dapat melakukan kerja yang kecil. Sel dimana reaksi berada dalam kesetimbangan tidak dapat melakukan kerja, sehingga potensial sel = nol.

Kerja listrik maksimum yang dapat dilakukan oleh sistem (sel) diberikan oleh nilai dGrx dan khususnya untuk proses spontan (dimana dG dan kerja listrik negatif) pada suhu dan tekanan konstan

We, maks = dG (P,T tetap) (6.2)

Jadi, untuk melakukan mengukur dG persyaratan yang harus dipenuhi :
- sel beroperasi reversibel
- komposisi tetap.

Kedua kondisi tersebut dapat dicapai dengan mengukur potensial sel pada saat sel diseimbangkan oleh sumber potensial pada arah yang berlawanan sehingga reaksi sel terjadi secara reversibel dan komposisinya tetap. Potensial sel yang dihasilkan disebut potensial sel arus nol, E, atau gaya gerak listrik atau emf dari sel

6.5.1. Hubungan antara E dan dGrx

Hubungan antara energi Gibbs reaksi dGrx dan potensial sel (E) diberikan oleh persamaan:

- n F E = dGrx (6.3)

dimana F = tetapan Faraday (96500 C)
n = jumlah elektron yang terlibat

Persamaan (6.3) menunjukkan bahwa dengan mengetahui energi Gibbs reaksi pada komposisi tertentu, potensial sel arus nol dapat ditentukan. Reaksi berlangsung spontan jika energi bebas Gibbs negatif. Jadi, reaksi sel spontan jika potensial sel arus nol positif.

6.5.2 Persamaan Nernst

Energi bebas Gibbs dihubungkan dengan komposisi campuran melalui persamaan :

dGrx = dGorx + RT ln Q (6.4)
dimana :
Q = Quotient (hasil bagi komposisi kimia)

Berdasarkan persamaan (6.3) dan (6.4) dapat diperoleh Potensial sel standar (Eo),yaitu : Eo =-dGo rx/nF
Sehingga jika persamaan (6.4) dibagi dengan – nF maka diperoleh :


Esel = Eo sel- RT/nF in Q (6.5)

Persamaan untuk potensial sel yang berhubungan dengan komposisi disebut Persamaan Nernst.

6.5.3 Sel konsentrasi

Persamaan Nernst dapat digunakan untuk mengekspresikan potensial dari sel konsentrasi elektrolit.

Misal : suatu sel dengan notasi sbb:
M / M+ (aq,L) // M+ (aq, R) / M
dimana larutan L dan R mempunyai konsentrasi yang berbeda. Reaksi selnya adalah :
M+ (aq,R) --> M+ (aq, L)
n=1
Potensial sel standar (Eo) = 0, karena sel tidak dapat menimbulkan arus melalui rangkaian jika kedua kompartemen elektrodanya identik. Oleh karena itu potensial sel (E) nya :


6.5.4. Sel pada kesetimbangan

Pada kesetimbangan, Q = K
dimana :
K = tetapan kesetimbangan dari reaksi sel.
Tetapi reaksi kimia pada kesetimbangan tidak dapat melakukan kerja sehingga menghasilkan beda potensial = 0 antara kedua elektroda sel galvani. Dengan menentukan E = 0 dan Q = K dalam persamaan Nernst menghasilkan :

Persamaan ini penting dalam memperkiran tetapan kesetimbangan dari potensial standar yang diukur.

6.6. Aplikasi Potensial Standar
6.6.1. Deret Elektrokimia
Untuk dua pasangan redoks, Oks1/Red1 dan Oks2/Red2 dengan notasi sel
Red1, Oks1//Red2,Oks2

Reaksi:
Red1 + Oks2 --> Oks1 + Red2, spontan jika Eo > 0 sehingga .
Karena dalam reaksi sel, Red1 mereduksi Oks2, Red1 memiliki kecenderungan termodinamika untuk mereduksi Oks2 jika
Contoh:
Eo Zn2+,Zn = -0,76 V < Eo Cu2+,Cu = +0,34
Seng memiliki kecenderungan termodinamika untuk mereduksi ion-ion Cu2+ dalam larutan.
Bagian dari deret elektrokimia unsur-unsur adalah sebagai berikut
Au kemampuan mereduksi kurang
Pt (potensial standar tinggi)
Ag
Hg
Cu
H
Pb
Sn
Ni
Fe
Zn
Cr
Al
Mg
Na
Ca
Sr
Ba kemampuan mereduksi kuat
K (potensial standar rendah)
Li
Deret ini disusun berdasarkan kemampuan untuk mereduksi yang diukur dari harga potensial standar dalam larutan (pelarut air).

Logam yang berada di sebelah bawah dalam deret (dengan potensial standar lebih rendah) dapat mereduksi logam dengan potensial standar lebih tinggi(berada di sebelah atasnya).

Kesimpulan ini bersifat kualitatif. Kesimpulan kuantitatif dapat diambil dengan menentukan nilai K.

Contoh :
Tentukan apakah seng dapat mereduksi magnesium dari larutannya pada 298 K
Dari deret elektrokimia dapat dilihat :
Zn berada di sebelah atas Mg, sehingga Zn tidak dapat mereduksi Mg dalam larutan tetapi Zn dapat mereduksi hidrogen karena hidrogen berada di sebelah atas Zn dalam deret elektrokimia.

Reaksi rantai transpor elektron dari respirasi merupakan aplikasi yang baik dari prinsip ini. Pada oksidasi eksergonik dari glukosa, 24 elektron ditransfer dari tiap molekul C6H12O6 ke 6 molekul O2. Reaksi setengah untuk oksidasi glukosa dan reduksi O2 adalah sebagai berikut :
C6H12O6(S) + 6H2O(g) --> 6CO2(g)+24H+(aq)+24e-
6O2(g)+24H+ +24e- -->12H2O(l)

Bersambung

KATANYA PERTAMBANGAN TEMBAGA, TAPI KOK EMAS PUN IKUT DIAMBIL?!!

Tembaga merupakan salah satu unsur logam transisi yang berwarna coklat kemerahan dan merupakan konduktor panas dan listrik yang sangat baik. Di alam, tembaga terdapat dalam bentuk bebas maupun dalam bentuk bijih tembaga seperti kalkopirit (CuFeS2), kuprit (Cu2O), kalkosit (Cu2S), dan malasit (Cu2(OH)2CO3).
Tembaga memiliki titik lebur pada suhu 1083 oC. Ternyata, titik lebur dari tembaga ini nilainya sangat berdekatan dengan titik lebur emas yakni sebesar 1063 oC. Hal inilah yang menyebabkan emas dan tembaga tak mungkin dapat dipisahkan secara sempurna satu sama lainnya.
Tembaga dan emas tidak akan memisah karena kecenderungan afinitasnya sama. Afinitas adalah kecenderungan suatu unsur dekat dengan unsur lain karena pengaruh sifat unsur, temperatur, tekanan, dan lingkungan kimia.
Berdasarkan teori aturan fasa sistem dua komponen, jika campuran dua padatan dipisahkan dengan jalan dilelehkan maka tak mungkin memperoleh kedua padatan dalam keadaan murni, tetapi yang mungkin adalah kita akan memperoleh zat murni dari padatan yang lebih dahulu meleleh sedangkan padatan yang meleleh di belakangan tidaklah berada pada keadaan murni, melainkan hasil lelehannya tetap bercampur dengan sedikit zat yang meleleh lebih dahulu. Pada teori ini, zat yang lebih duluan meleleh adalah zat dengan kandungan tersedikit dalam campuran padatan.
Namun, aturan fasa sistem dua komponen agak sedikit berbeda untuk campuran tembaga dan emas yang perbedaan titik lelehnya hanya 20 oC. Pemisahan emas dan tembaga tersebut tetap menyisakan sedikit emas pada tembaga begitupun sebaliknya. Kecuali suatu saat akan ada mesin yang sangat sensitif untuk perubahan suhu pada suhu yang sangat tinggi. Namun demikian, dari campuran tembaga dan emas paling tidak dapat diolah sehingga diperoleh emas dan tembaga yang mendekati murni.
Sungguh tragis pengelolaan sistem pertambangan di Indonesia. Hal ini banyak dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan industri untuk merauk keuntungan sebanyak-banyaknya. Taruhlah kegiatan pertambangan tembaga oleh suatu perusahaan tambang yang berdalih menambang tembaga sehingga hanya membayar untuk penambangan tembaga. Padahal berdasarkan ilmu kimia, adanya tembaga pasti selalu disertai dengan keberadaan emas. Di dalam tumpukan tembaga sebagai hasil tambang tersebut pasti ada emasnya baik banyak maupun sedikit. Bisa saja sebelum pengolahan tembaga, dengan memanfaatkan aturan fasa sistem dua komponen, perusahaan tambang memperoleh emas dengan kemurnian tinggi untuk dijual pula. Kita tentu tahu harga emas sekarang. Namun, entah mengapa ilmuwan-ilmuwan kimia di Negara kita seakan bungkam dengan kondisi ini.
Sebenarnya tidak hanya pertambangan tembaga saja, demikian pula pertambangan nikel, di mana keberadaan nikel pasti selalu disertai dengan keberadaan besi dan kobalt.

SEJARAH SINGKAT LEMBAGA DAKWAH KAMPUS MAHASISWA PECINTA MUSHALLA UNIVERSITAS HASANUDDIN

Dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT, kami mahasiswa Islam Universitas Hasanuddin membentuk suatu wadah sebagai wasilah (sarana) perjuangan yang bernama Lembaga Dakwah Kampus Mahasiswa Pecinta Mushalla Universitas Hasanuddin (LDK MPM Unhas). LDK MPM Unhas didirikan di Ujung Pandang pada tanggal 5 Jumadil Awal 1409 H bertepatan dengan tanggal 15 Desember 1988 M. LDK MPM Unhas sebagai salah satu unit kegiatan mahasiswa yang insyaallah senantiasa akan berusaha memberikan sumbangsih bagi pembinaan aqidah dan moralitas civitas akademika dan kemajuan syi’ar Islam secara berkesinambungan dan selaras dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
LAPORAN PRAKTIKUM
KIMIA ANORGANIK


PERCOBAAN 7
SINTESIS SENYAWA GARAM DIAZONIUM KLORIDA

NAMA : SUHENDRA ISKANDAR
ADRIANI
AHMAD FADEL
NIM : H311 08 266
H311 08 267
H311 08 271
KELOMPOK : V (LIMA)
HARI/TGL PERCOBAAN : SELASA/18 MEI 2010
ASISTEN : INDRAYANTI SUKIMAN








LABORATORIUM KIMIA ANORGANIK
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2010
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Menurut definisi kuno, garam adalah hasil reaksi antara asam dan basa. Proses-proses semacam ini disebut reaksi netralisasi. Dalam hal ini, bahwa jika sejumlah asam dan basa murni yang akivalen dicampur, dan larutannya diuapkan, suatu kristalin tertinggal yang tak mempunyai ciri-ciri khas suatu asam ataupun basa, maka zat-zat inilah yang disebut garam.
Garam merupakan senyawa yang sudah sangat dikenal dalam kehidupan sehari-sehari. Misalnya garam dapur (NaCl), garam Inggris (MgSO4), dan sebagainya. Sebagai komponen utama pada garam dapur, natrium klorida digunakan sebagai bumbu dan pengawet makanan.
Selain garam yang umum dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari, ada pula garam yang tidak lazim dalam kehidupan sehari-hari, seperti misalnya garam diazonium klorida. Garam ini dibuat dengan mereaksikan anilin pekat dengan HCl pekat dengan pelarut akuades kemudian hasil reaksinya ditetesi sedikit demi sedikit oleh larutan NaNO2.
Larutan diazonium klorida adalah salah satu senyawa garam yang banyak dimanfaatkan sebagai zat warna baik pada tekstil maupun logam. Namun, senyawa diazonium klorida ini memiliki satu kelemahan yang membuatnya tidak pernah dipakai oleh industri sebagai zat warna. Kelemahannya yaitu garam ini tidak dapat bertahan lama walaupun diawetkan maka setelah disintesis harus segera digunakan. Pada suhu kamar, garam ini hanya dapat bertahan sekitar tiga jam dan setelah itu rusak sedangkan jika diawetkan pada suhu sekitar 0 oC hanya dapat bertahan sekitar 5 hari.
Pembuatan garam memang bukan perkara mudah, karena itu untuk mengetahui lebih jelas tentang pembuatan garam diazonium klorida, maka dilakukanlah percobaan ini .

1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
1.2.1 Maksud Percobaan
Maksud dari percobaan ini adalah untuk mengetahui metode sintesis garam.

1.2.2 Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mensintesis senyawa garam diazonium klorida.

1.3 Prinsip Percobaan
Prinsip percobaan ini yaitu mereaksikan anilin pekat dengan HCl pekat dengan pelarut akuades pada suhu di bawah 5 oC kemudian hasil reaksinya ditetesi sedikit demi sedikit oleh larutan NaNO2 pada suhu di bawah 10 oC.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Hukum pertama termodinamika secara umum menjelaskan kekekalan energi. Energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Anggap bahwa pada sebuah sistem sejumlah panas sebesar q dimasukkan. Penyerapan panas ini meningkatkan energi sistem dan juga menunjukkan kerja kepada sistem (Norman, 1978).
Senyawa aromatik polisiklik lebih reaktif terhadap oksidasi, reduksi, dan substitusi elekrofilik daripada benzena. Reaktivitas yang lebih besar ini disebabkan oleh dapatnya senyawa polisiklik bereaksi pada satu cincin dan masih tetap mempunyai satu cincin benzena atau lebih yang masih utuh dalam zat antara dan dalam produk. Diperlukan energi lebih kecil untuk mengatasi karakter aromatik suatu cincin tunggal dari senyawa polisiklik daripada energi yang diperlukan untuk benzena (Fessenden dan Fessenden, 1982).
Resonansi juga mempengaruhi kuat basa suatu amina. Sikloheksilamina bersifat basa yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan anilina. Kebasaan anilina lebih rendah adalah karena muatan positif ion anilinium tak dapat didelokalisasi oleh awan pi aromatik. Tetapi, pasangan elektron dari amina bebas didelokalisasi oleh cincin. Akibatnya, amina bebas terstabilkan dibandingkan dengan asam konjugasi atau kationnya (Fessenden dan Fessenden, 1982).
Reaksi suatu amina dengan asam mineral seperti CHI atau suatu asam karboksilat seperti asam asetat menghasilkan suatu garam amina. Karena kemampuannya membentuk garam, suatu amina yang tak larut dalam air dapat dilarutkan dengan mengolahnya dengan asam encer. Dengan cara ini, senyawa yang mengandung gugus amino dapat dipisahkan dari bahan-bahan yang tak larut dalam air maupun asam. Amina yang terjadi secara alamiah dalam tumbuhan yang disebut alkaloid, dapat diekstrak dari dalam sumbernya, seperti kulit pohon atau daun, dengan asam dalam air. Banyak senyawa yang mengandung gugus amino digunakan sebagai obat. Obat-obatan ini sering diminum dalam bentuk garam yang larut dalam air dan bukan sebagai amina yang tak larut (Fessenden dan Fessenden, 1982).
Sebagian besar dari sel adalah air. Lebih dari 70 % volume sel adalah air. Oleh karena air adalah senyawa berkutub, ia mampu melarutkan berbagai garam, membentuk bermacam-macam ikatan hidrogen dan interaksi Van der Walls dengan berbagai gugus terkutub dan mendorong interaksi hidrofobik antara berbagai molekul tidak berkutub. Kesemuanya ini sangatlah penting untuk berbagai macam sistem biologi (Schumm,1993).
Sifat terkutub dari air memungkinkannya untuk mengelilingi molekul-molekul yang bermuatan oksigen yang secara nisbi lebih negatif mengambil tempat sedemikian rupa sehingga berhadapan dengan gugus yang secara nisbi bermuatan lebih positif dari molekul lain. Jika bukanlah karena polaritas air ini, maka ion-ion misalnya Cl-, K+, HCO3-, dan Mg2+ tidaklah akan ada di dalam sel dalam bentuk ion tersebut (Schumm,1993).
Sifat terkutub air yang juga memungkinkannya membentuk ikatan hidrogen dengan bermacam-macam molekul lain yang juga bersifat terkutub. Selain berinteraksi dengan air, molekul-molekul terkutub dapat pula membentuk ikatan hidrogen satu sama lain. Ikatan-ikatan hidrogen semacam ini mempertahankan kemantapan struktur dari protein, karbohidrat, dan asam-asam nukleat (Schumm,1993).
Molekul-molekul tidak terkutub yang mirip dengan hidrokarbon tidaklah dapat membentuk ikatan hidrogen dan karena itu cenderung untuk memisahkan diri dari molekul-molekul yang lebih bersifat berkutub. Sifat ini dinamakan sebagai interaksi hidrofobik. Molekul-molekul yang mempunyai sifat seperti ini membentuk tetesan atau lapisan bila berada dalam lingkungan air. Interaksi hidrofobik ini penting untuk membentuk struktur membran sel, lipatan-lipatan pada molekul protein serta struktur sekunder dari asam nukleat (Schumm,1993).
Pembentukan benzena diazonium klorida (C6H5N2+Cl-) dengan mereaksikan anilina dengan asam nitrit, HNO2, dalam air dingin (dibuat in-situ dari NaNO2 dan HCl). Ingat bahwa garam arildiazonium stabil pada 0 oC dan merupakan zat antara sintetik yang berguna karena N2 merupakan gugus pergi yang sangat baik (Fessenden dan Fessenden, 1982).
Pengolahan alkilamina primer dengan NaNO2 dan HCl juga akan menghasilkan garam diazonium, tetapi garan alkildiazonium tidak stabil dan terurai menjadi campuran alkohol dan alkena bersama-sama N2. Penguraian itu berlangsung melalui suatu karbokation (Fessenden dan Fessenden, 1982).
Bila direaksikan dengan NaNO2 dan HCl, amina sekunder (alkil ataupun aril) menghasilkan N-nitrosoamina, senyawa yang mengandung gugus N-N=O. Banyak N-nitrosoamina bersifat karsinogen (Fessenden dan Fessenden, 1982).
Amina tersier sukar diramalkan bagaimana reaksinya secara keseluruhan dengan asam nitrit. Suatu arilamina tersier biasanya mengalami substitusi cincin dengan –NO karena cincin itu diaktifkan oleh gugus –NR2. Alkilamina tersier dan kadang-kadang arilamina tersier juga dapat kehilangan sebuah gugus R dan membentuk suatu derivat N-nitroso dari suatu amina sekunder (Fessenden dan Fessenden, 1982).
Kata larutan sering dijumpai. Larutan merupakan campuran homogen antara dua atau lebih zat berbeda jenis. Ada 2 komponen utama pembentuk larutan, yaitu zat terlarut dan pelarut (Yasid, 2008).
Fasa larutan dapat berupa fasa gas, cair, atau fasa padat bergantung pada sifat kedua komponen pembentuk larutan. Apabila fasa larutan dan fasa zat-zat pembentuknya sama zat yang berada dalam jumlah terbanyak umumnya disebut pelarut sedangkan zat lainnya sebagai zat terlarutnya (Yasid, 2008).
Sifat-sifat fisik larutan ditentukan oleh konsentrasi dari berbagai komponennya. Konsentrasi larutan menyatakan banyaknya zat terlarut yang terdapat dalam suatu pelarut atau larutan. Larutan yang mengandung sebagian besar zat terlarut relatif terhadap pelarut, berarti larutan tersebut konsentrasinya tinggi (pekat). Sebaliknya bila mengandung sejumlah kecil zat terlarut, maka konsentrasinya rendah (encer) (Yasid, 2008).
Jenis zat terlarut dan jenis pelarut akan mempengaruhi sifat larutan yang terbentuk. Air merupakan pelarut yang tidak asing lagi dalam kehidupan. Sifat-sifat air seperti mudah diperoleh, mudah digunakan, memiliki trayek cair yang panjang, dan kemampuannya untuk melarutkan berbagai zat adalah sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh pelarut lain. Sifat ini menempatkan air sebagai pelarut universal (Yasid, 2008).
Melarut dapat diartikan sebagai terdispersinya molekul-molekul zat terlarut di dalam molekul-molekul air. Selain itu, melarut juga dapat diartikan sebagai berinteraksinya molekul/ion zat terlarut dengan molekul-molekul air (Yasid, 2008).
Persen berat adalah jumlah gram zat terlarut dalam 100 gram larutan. persen berat biasanya digunakan untuk menyatakan kadar komponen yang berupa zat padat. Persen volume adalah jumlah volume (mL) zat terlarut dalam 100 mL larutan. persen volume biasanya digunakan untuk menyatakan kadar komponen berupa zat cair atau gas. Persen berat pervolume menyatakan banyaknya gram zat terlarut dalam 100 mL larutan. cara ini biasanya dipakai untuk menyatakan kadar zat padat dalam suatu cairan atau gas. Bagian perjuta (bpj) atau parts permillion (ppm) adalah satu bagian zat terlarut dalam satu juta bagian larutan. Satuan ppm sering dipakai untuk menyatakan konsentrasi zat yang sangat kecil dalam larutan gas, cair, atau padat (Yasid, 2008).
Pada penguraian CsCl padat menjadi ion di dalam air, terjadi solvasi di mana solvasi ion positif dan ion negatif berbeda. Molekul air yang bermuatan positif bergerak menuju ion Cl- yang bermuatan negatif, dan titik atom oksigen yang bermuatan negatif bergerak menuju ion Cs+ yang bermuatan positif. Untuk garam yang sangat larut seperti CsCl, konsentrasi ion dalam larutan air yang jenuh sangat tinggi sehingga larutan menjadi sangat tidak ideal. Ada banyak penggabungan antara ion-ion dalam larutan yang menghasilkan pasangan sementara ion dengan muatan yang berlawanan dan juga dalam kelompok yang lebih besar (Rosenberg, 1992).
Pada umumnya hanya sedikit larutan yang bersifat ideal. Larutan yang tidak memenuhi atau menyimpang dari hukum Raoult disebut larutan non ideal. Terjadinya penyimpangan atau deviasi disebabkan perbedaan gaya tarik antara molekul sejenis dengan molekul yang tidak sejenis dalam larutan. Misalkan larutan zat A dalam B bersifat non ideal, berarti gaya tarik antara A dan B tidak sama dengan gaya tarik antara molekul A-A atau B-B (Yasid, 2008).

BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1 Bahan
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah anilin 10,9131 M, HCl 32 %, akuades, es batu, NaNO2, indikator universal, kertas label, sabun cair, dan tisu roll.

3.2 Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah gelas kimia 250 mL, wadah tertutup, termometer -10 – 110 oC, batang pengaduk, sendok tanduk, gelas kimia 1000 mL, gelas kimia 50 mL, neraca Ohaus, dan gelas ukur 20 mL.

3.3 Prosedur Percobaan
Prosedur percobaan ini adalah:
1. Disiapkan sebuah wadah tertutup yang dilengkapi dengan batang pengaduk dan termometer -10 – 110 oC yang berisi potongan-potongan es batu.
2. Larutan anilin 10,9131 M ditimbang di dalam gelas kimia 250 mL dengan menggunakan neraca Ohaus sebanyak 5,1 gram.
3. Gelas kimia 250 mL yang berisi anilin tersebut dimasukkan ke dalam wadah tertutup yang berisi es batu tadi di mana suhu di dalam wadah tertutup ini dijaga agar tetap di bawah 5 oC.
4. Dibiarkan sekitar 1 menit untuk mencapai kesetimbangan termal.
5. Larutan anilin kemudian dicampurkan dengan 16 mL HCl 32% dan 16 mL akuades kemudian diaduk dengan batang pengaduk sampai terbentuk anilin klorida.
6. Ke dalam gelas kimia 250 mL yang lain dimasukkan 20 mL akuades dan dimasukkan ke dalam wadah tertutup. Dibiarkan beberapa saat untuk mencapai kesetimbangan termal dan suhu dijaga agar tetap di bawah 10 oC. Ditambahkan potongan es batu jika perlu.
7. Setelah itu, ditimbang NaNO2 di dalam gelas kimia 50 mL dengan menggunakan neraca Ohaus sebanyak 5,0 gram.
8. NaNO2 tersebut kemudian dilarutkan ke dalam akuades di dalam wadah tertutup tadi. Campuran tersebut diaduk-aduk agar larutannya benar-benar homogen. Suhunya tetap dijaga agar di bawah 10 oC.
9. Larutan NaNO2 dingin ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam larutan anilin klorida dingin di dalam wadah tertutup sambil terus diaduk dan dijaga suhunya dibawah 10 oC sehingga terbentuk larutan garam diazonium klorida.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan
1. Pengamatan terhadap Reaksi Anilin dengan HCl dengan Pelarut Akuades
Sebelum dicampurkan dengan HCl, anilin berwarna coklat
Setelah dicampurkan dengan HCl, anilin bereaksi dengan HCl dan menghasilkan suatu larutan yang berwarna orange kecoklatan
2. Reaksi Anilin dengan HCl menghasilkan anilin klorida yang dapat diidentifikasi keberadaannya dengan indikator warna yakni berwarna orange kecoklatan
3. Pada saat reaksi berlangsung terdapat kepulan asap putih yang merupakan gas H2 yakni hasil samping dari reaksi anilin dengan HCl.
4. Setelah larutan campuran ditambahkan dengan larutan NaNO2, maka akan terbentuk garam diazonium klorida yang keberadaannya dapat diidentifikasi dengan indikator warna yakni berwarna orange serta dengan pH universal yakni memiliki pH sebesar 4.

4.2 Reaksi
C6H5NH2 + HCl --> C6H5NHCl + H2
C6H5NHCl + NaNO2 --> C6H5NNCl + NaOH



4.3 Pembahasan
Larutan diazonium klorida adalah salah satu senyawa garam yang banyak dimanfaatkan sebagai zat warna baik pada tekstil maupun logam. Namun, senyawa diazonium klorida ini memiliki satu kelemahan yang membuatnya tidak pernah dipakai oleh industri sebagai zat warna. Kelemahannya yaitu garam ini tidak dapat bertahan lama walaupun diawetkan maka setelah disintesis harus segera digunakan. Pada suhu kamar, garam ini hanya dapat bertahan sekitar tiga jam dan setelah itu rusak sedangkan jika diawetkan pada suhu sekitar 0 oC hanya dapat bertahan sekitar 5 hari. Sintesis senyawa diazonium klorida dapat dilakukan dengan mereaksikan larutan anilin dengan HCl sehingga menghasilkan larutan anilin klorida kemudian direaksikan dengan larutan NaNO2 untuk menghasilkan senyawa diazonium klorida.
Disiapkan sebuah wadah tertutup yang dilengkapi dengan batang pengaduk dan termometer -10 – 110 oC yang berisi potongan-potongan es batu. Wadah tertutup ini berfungsi untuk menjaga suhu reaksi di mana tahapan-tahapan reaksi pada sintesis senyawa garam diazonium klorida membutuhkan suhu dingin yakni di bawah 10 oC. Batang pengaduk berfungsi untuk menghomogenkan campuran agar lebih cepat bereaksi. Adapun termometer berfungsi untuk megamati suhunya agar tidak di atas 10 oC.
Larutan anilin 10,9131 M ditimbang di dalam gelas kimia 250 mL dengan menggunakan neraca Ohaus sebanyak 5,1 gram. Gelas kimia 250 mL yang berisi anilin tersebut dimasukkan ke dalam wadah tertutup yang berisi es batu tadi di mana suhu di dalam wadah tertutup ini dijaga agar tetap di bawah 5 oC. Dibiarkan sekitar 1 menit untuk mencapai kesetimbangan termal. Larutan anilin kemudian dicampurkan dengan 16 mL HCl 32% dan 16 mL akuades kemudian diaduk dengan batang pengaduk sampai terbentuk anilin klorida. Proses ini haruslah terjadi pada suhu di bawah 10 oC karena jika reaksi dilangsungkan pada suhu kamar, maka produknya akan rusak oleh panas karena seperti kita ketahui bahwa reaksi antara anilin dan HCl menghasilkan anilin klorida dan gas H2 merupakan reaksi yang sangat eksoterm sehingga jika panas yang dihasilkan ini tidak dinetralisir oleh hawa dingin dari es batu, maka anilin klorida akan rusak. Perlu diketahui bahwa anilin klorida merupakan senyawa yang mudah rusak oleh panas sedangkan reaksi antara anilin dan HCl menghasilkan anilin klorida dan gas H2 mampu melepaskan kalor yang dapat meningkatkan suhu air menjadi 100 oC lebih tinggi pergramnya.
Ke dalam gelas kimia 250 mL yang lain dimasukkan 20 mL akuades dan dimasukkan ke dalam wadah tertutup. Dibiarkan beberapa saat untuk mencapai kesetimbangan termal dan suhu dijaga agar tetap di bawah 10 oC. Ditambahkan potongan es batu jika perlu. Setelah itu, ditimbang NaNO2 di dalam gelas kimia 50 mL dengan menggunakan neraca Ohaus sebanyak 5,0 gram. NaNO2 tersebut kemudian dilarutkan ke dalam akuades di dalam wadah tertutup tadi. Campuran tersebut diaduk-aduk agar larutannya benar-benar homogen. Suhunya tetap dijaga agar di bawah 10 oC. Larutan NaNO2 dingin ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam larutan anilin klorida dingin di dalam wadah tertutup sambil terus diaduk dan dijaga suhunya dibawah 10 oC sehingga terbentuk larutan garam diazonium klorida. Suhu reaksi ini pun harus dijaga agar tetap di bawah 10 oC. Alasannya, sama seperti di atas.
Senyawa garam diazonium klorida yang terbentuk ini, dapat diidentifikasi dengan menggunakan indikator warna yakni berwarna orange dan indikator universal yakni memiliki pH sebesar 4.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa garam diazonium klorida dapat disintesis dari reaksi anilin dengan HCl yang kemudian direaksikan dengan NaNO2 di mana digunakan indikator warna berupa warna orange dan indikator universal yakni nilai pH sebesar 4 untuk mengidentifikasi terbentuknya senyawa gaam diazonium klorida ini.

5.2 Saran
Untuk laboratorium, masih perlu dilakukan banyak perbaikan. Alat- alat yang tersedia masih kurang sehingga perlu ditambah. Selain itu, alat-alat yang telah tersedia pun, banyak yang rusak sehingga perlu menjadi perhatian utama bagi petugas laboratorium untuk diperbaiki.
Untuk praktikum, hendaknya percobaan ini perlu ditambah waktu praktikumnya karena praktikan merasa bahwa waktu praktikum yang disediakan tidaklah cukup.

DAFTAR PUSTAKA



Fessenden, R. J. dan Fessenden, J. S., 1982, Kimia Organik, Erlangga, Jakarta.

Norman, R. O. C., 1978, Principles of Organic Synthesis, Chapman and Hall, London.

Rosenberg, J. E., 1992, Kimia Dasar, Erlangga, Jakarta.

Schumm, D. E., 1993, Intisari Biokimia, Binarupa Aksara, Jakarta.

Yasid, E., 2008, Kimia Fisika untuk Paramedis, ANDI, Yogyakarta.

Dilarang Mengambil Orang Kafir Sebagai Teman Kepercayaan dan Menceritakan Rahasia Kaum Muslimin


Allah berfirman yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalangan kalian (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemadharatan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian di mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh, telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya.(Ali Imran ayat 18)

Dengan ayat ini, Allah melarang orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir, Yahudi, dan orang yang mengikuti hawa nafsu sebagai orang kepercayaan yang akan menuangkan pemikiran mereka pun dilarang mengamanahkan harta benda kepada mereka.
Dikatakan bahwa siapa saja yang menyelisihi ideologi dan agamamu maka tidak seyogyanya kamu mengajaknya berbicara.

Di dalam Sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah dari Nabi saw bahwa Beliau bersabda yang artinya:
"Seseorang akan terpengaruh oleh temannya maka hendaklah masing-masing kalian memperhatikan siapa yang menjadi teman dekatnya.:
Dari Ibnu Mas'ud bahwa Nabi saw bersabda yang artinya:
"Nilailah manusia berdasarkan siapa yang menjadi kawannya."

Lalu Allah menjelaskan Alasan Dia melarang menyambung ikatan persaudaraan dengan berfirman, ".........kerusakan............", artinya mereka tidak akan berhenti bersungguh-sungguh untuk merusakmu, meskipun mereka tidak memerangimu secara fisik, namun mereka tidak akan pernah berhenti untuk membuat makar dan tipu daya. Dan, firman Allah, "...mereka senang kalian menjadi susah," yaitu mereka sangat senang jika kalian susah dan sengsara.(Tafsir Al-Qurthubi: 4/178-181)

Fenomena Bid'ah di Bulan Rajab

Pernahkah Anda mendengar dua hadits palsu populer di bawah ini?
"Rajab adalah bulannya Allah, Sya'ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku." (Status hadits: Maudhu'(palsu) Lihat As Silsilah Adh Dhaifah no 4400)
"Ada lima malam yang doa tidak akan ditolak: awal malam pada bulan Rajab, malam nishfu Sya'ban, malam Jum'at, malam Idul Fitri, dan malam hari raya Kurban." (Status Hadits: Maudhu' (palsu) lihat As silsilah Adh Dhaifah no 1452)

Sesungguhnya tidak mengapa puasa pada bulan Rajab, seperti puasa senin kamis dan Ayyamul Bidh (tanggal 13,14, 15 bulan Hijriah). Tidak mengapa shalat pada malam bulan Sya'ban, dan seterusnya, sebab ini semua memiliki perintah secara umum dalam syari'at.

Yang keliru adalah meyakini dan mengkhususkan ibadah-ibadah ini dengan keutamaan tertentu yang hanya bisa diraih di bulan Rajab atau Sya'ban saja, ataupun pada bulan-bulan tertentu, dan tidak pada bulan-bulan lainnya.

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tiap-tiap bid'ah (hal-hal yang baru dalam ibadah khusus yang diada-adakan tanpa adanya contoh dari Rasulullah) itu sesat dan tiap-tiap kesesatan di neraka." (HR An Nasa'i dalam Shahih Sunan An-Nasa'i dan Misykatul Mashaabih)

Sumber: pamflet Mushola Istiqamah Bidang Kerohanian BEM FMIPA UH
Powered by Blogger