AKTIVITAS METABOLISME MIKROBA
MAKALAH BIOTEKNOLOGI
AKTIVITAS METABOLISME MIKROBA
KELOMPOK 4
SUHENDRA ISKANDAR (H311 08 266)
FEROSDIANA PAGA (H311 06 501)
ASBULLAH AHMAD (H311 08 261)
FADLIAH (H311 08 264)
MEITY JOLANDA KAROMA (H311 08 262)
PUTRI SEPTIA ANDINI (H311 08 265)
DEWIANTI POPANG P. (H311 08 270)
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………………..1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………2
A. KEBUTUHAN ENERGI BAGI MIKROBA…………………………………………2
B. KETERATURAN DAN PEMECAHAN KARBOHIDRAT………………………..13
C. METABOLIT PRIMER DAN SEKUNDER………………………………………..21
BAB IV. PENUTUP……………………………………………………………………..31
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………32
BAB I
PENDAHULUAN
Mikroorganisme atau mikroba adalah organisme mikroskopik yang sebagian besar berupa satu sel yang terlalu kecil untuk dapat dilihat menggunakan mata telanjang. Mikroba berukuran sekitar seperseribu milimeter (1 mikrometer) atau bahkan kurang, walaupun ada juga yang lebih besar dari 5 mikrometer. Karenanya, mikroba hanya bisa dilihat dengan menggunakan alat bantu berupa mikroskop.
Bakteri memiliki berbagai aktivitas biokimia (pertumbuhan dan perbanyakan) dengan menggunakan raw material (nutrisi) yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Transformasi biokimia dapat timbul didalam dan diluar dari bakteri yang diatur oleh katalis biologis yang dikenal sebagai enzim. Setiap bakteri memiliki kemampuan dalam menggunakan enzim yang dimilikinya untuk degradasi karbohidrat, lemak, protein, dan asam amino. Metabolisme atau penggunaan dari molekul organik ini biasanya menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk identifikasi dan karakterisasi bakteri. pengamatan aktivitas biokimia atau metabolisme mikroorganisme yang diketahui dari kemampuan mikroorganisme untuk menggunakan dan menguraikan molekul yang kompleks seperti karbohidrat, lemak, protein dan asam nukleat. Selain itu dilakukan pula pengamatan pada molekul-molekul sederhana seperti asam amino dan monosakarida. Dan hasil dari berbagai uji ini digunakan untuk perincian dan identifikasi mikroorganisme. Penggunaan zat hara tergantung dari aktivitas metabolisme mikroba. Metabolisme seringkali menghasilkan hasil sampingan yang dapat digunakan untuk identifikasi mikroorganisme. Pengamatan aktivitas metabolisme diketahui dari kemampuan mikroorganisme untuk menggunakan dan menguraikan molekul yang kompleks seperti zat pati, lemak, protein dan asam nukleat. Selain itu pengamatan juga dilakukan pada molekul yang sederhana seperti amino dan monosakarida.
Mikroba terdapat dimana-mana dalam alam. Mikroba dapat ditemui mulai dari dasar lautan yang paling dalam sampai ke puncak gunung yang paling tinggi. Mikroba ada yang hidup dalam air dingin, juga ada yang tahan hidup dalam air panas pada suhu tinggi bahkan ada yang sampai 250 derajat Celcius. (extremophilic).
Mikroba menjadi salah satu tumpuan pengembangan bioteknologi. Beberapa aspek dari mikroba menjadi sumber ketakutan. HIV, SARS, flu burung, antraks merupakan topik-topik yang menimbulkan ketakutan luar biasa bagi manusia, tetapi melalui riset dan teknologi mampu mendatangkan dana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KEBUTUHAN ENERGI BAGI MIKROBA
Untuk pertumbuhannya, mikroorganisme membutuhkan senyawa-senyawa nutritif yang digunakan untuk sintesa komponen sel dan untuk menghasilkan energi. Untuk menghasilkan komponen sel tersebut dan energi dalam bentuk ATP maka dibutuhkan sumber seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan beberapa jenis mineral (Djide dkk., 2007).
Di dalam tubuh mikroorganisme terjadi proses metabolisme yaitu suatu proses perubahan senyawa yang satu menjadi senyawa lain. Proses metabolisme mencakup semua reaksi kimia dan biologi yang terjadi di dalam sel mikroorganisme. Metabolisme mikroorganisme dikenal dua proses, yaitu (Djide dkk., 2007) :
1. Proses katabolisme di mana terjadi pembentukan energi.
2. Proses anabolisme di mana dibutuhkan energi.
Oleh karena itu, di dalam sel mikroorganisme terjadi dua proses utama, yaitu:
1. Produksi energi dari berbagai substrat yang tersedia.
2. Pembentukan intermediet yang dibutuhkan untuk produksi biokimia dan komponen sel lainnya.
Nutrien dibutuhkan oleh mikroba sebagai sumber energi. Energi tersebut diperoleh dari nutrien melalui proses katabolisme. Katabolisme dapat terjadi melalui dua cara, yakni secara aerob dan anaerob. Katabolisme nutrien secara aerob memerlukan oksigen bebas dalam mengoksidasi nutrien untuk memperoleh energi. Sementara, katabolisme anaerob tidak memerlukan oksigen bebas. Energi dipergunakan oleh mikroba layaknya makhluk hidup lain yaitu tumbuh, berkembang, bergerak, bereproduksi, dan lain-lain (Fitria, 2009).
Nutrien utama yang menjadi sumber energi utama bagi mikroba adalah karbohidrat. Tiap mikroorganisme memecah karbohidrat menjadi bentuk yang berbeda-beda secara anaerob ataupun aerob. Beberapa contoh hasil pemecahan karbohidrat oleh mikroorganisme antara lain (Djide dkk., 2007):
1. Secara Anaerob
2. Secara Aerob
Di samping untuk menghasilkan energi, pemecahan karbohidrat juga bertujuan untuk menghasilkan metabolit primer dan metabolit sekunder (Djide dkk., 2007).
Medium pertumbuhan (disingkat medium) adalah tempat untuk menumbuhkan mikroba. Mikroba memerlukan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan energi dan untuk bahan pembangun sel, untuk sintesa protoplasma dan bagian-bagian sel lain. Setiap mikroba mempunyai sifat fisiologi tertentu, sehingga memerlukan nutrisi tertentu pula (Rao, 1994).
Susunan kimia sel mikroba relatif tetap, baik unsur kimia maupun senyawa yang terkandung di dalam sel. Dari hasil analisis kimia diketahui bahwa penyusun utama sel adalah unsur kimia C, H, O, N, dan P, yang jumlahnya + 95 % dari berat kering sel, sedangkan sisanya tersusun dari unsur-unsur lain. Apabila dilihat susunan senyawanya, maka air merupakan bagian terbesar dari sel, sebanyak 80-90 %, dan bagian lain sebanyak 10-20 % terdiri dari protoplasma, dinding sel, lipida untuk cadangan makanan, polisakarida, polifosfat, dan senyawa lain (Lunggani, 2007).
Tabel 1. Persentasi berat kering unsur-unsur
Susunan unsur-unsur penyusun sel bakteri E. coli
Seperti halnya makhluk hidup lainnya, mikroba memerlukan energi untuk kelangsungan hidupnya. Energi diperlukan oleh mikroba untuk berbagai kegiatan, yaitu (Rao, 1994) :
1. Mempertahankan kehidupan sel.
2. Pertumbuhan dan perkembangbiakan sel.
3. Pergerakan pada mikroba yang bersifat motil (dapat bergerak).
Setiap unsur nutrisi mempunyai peran tersendiri dalam fisiologi sel. Unsur tersebut diberikan ke dalam medium sebagai kation garam anorganik yang jumlahnya berbeda-beda tergantung pada keperluannya. Beberapa golongan mikroba misalnya diatomae dan alga tertentu memerlukan silika (Si) yang biasanya diberikan dalam bentuk silikat untuk menyusun dinding sel. Fungsi dan kebutuhan natrium (Na) untuk beberapa jasad belum diketahui jumlahnya. Natrium dalam kadar yang agak tinggi diperlukan oleh bakteri tertentu yang hidup di laut, algae hijau biru, dan bakteri fotosintetik. Natrium tersebut tidak dapat digantikan oleh kation monovalen yang lain (Rao, 1994).
Jasad hidup dapat menggunakan makanannya dalam bentuk padat maupun cair (larutan). Jasad yang dapat menggunakan makanan dalam bentuk padat tergolong tipe holozoik, sedangkan yang menggunakan makanan dalam bentuk cair tergolong tipe holofitik. Jasad holofitik dapat pula menggunakan makanan dalam bentuk padat, tetapi makanan tersebut harus dicernakan lebih dulu di luar sel dengan pertolongan enzim ekstraseluler. Pencernaan di luar sel ini dikenal sebagai extracorporeal digestion (Machmud, 2008).
Bahan makanan yang digunakan oleh jasad hidup dapat berfungsi sebagai sumber energi, bahan pembangun sel, dan sebagai aseptor atau donor elektron. Dalam garis besarnya bahan makanan dibagi menjadi tujuh golongan yaitu air, sumber energi, sumber karbon, sumber aseptor elektron, sumber mineral, faktor tumbuh, dan sumber nitrogen (Machmud, 2008).
1. Air
Air merupakan komponen utama sel mikroba dan medium. Funsi air adalah sebagai sumber oksigen untuk bahan organik sel pada respirasi. Selain itu air berfungsi sebagai pelarut dan alat pengangkut dalam metabolisme.
2. Sumber energi
Ada beberapa sumber energi untuk mikroba yaitu senyawa organik atau anorganik yang dapat dioksidasi dan cahaya terutama cahaya matahari.
3. Sumber karbon
Sumber karbon untuk mikroba dapat berbentuk senyawa organik maupun anorganik. Senyawa organik meliputi karbohidrat, lemak, protein, asam amino, asam organik, garam asam organik, polialkohol, dan sebagainya. Senyawa anorganik misalnya karbonat dan gas CO2 yang merupakan sumber karbon utama terutama untuk tumbuhan tingkat tinggi.
4. Sumber aseptor elektron
Proses oksidasi biologi merupakan proses pengambilan dan pemindahan elektron dari substrat. Karena elektron dalam sel tidak berada dalam bentuk bebas, maka harus ada suatu zat yang dapat menangkap elektron tersebut. Penangkap elektron ini disebut aseptor elektron. Aseptor elektron ialah agensia pengoksidasi. Pada mikrobia yang dapat berfungsi sebagai aseptor elektron ialah O2, senyawa organik, NO3-, NO2-, N2O, SO4-, CO2, dan Fe3+.
5. Sumber mineral
Mineral merupakan bagian dari sel. Unsur penyusun utama sel ialah C, O, N, H, dan P. unsur mineral lainnya yang diperlukan sel ialah K, Ca, Mg, Na, S, Cl. Unsur mineral yang digunakan dalam jumlah sangat sedikit ialah Fe, Mn, Co, Cu, Bo, Zn, Mo, Al, Ni, Va, Sc, Si, Tu, dan sebagainya yang tidak diperlukan jasad. Unsur yang digunakan dalam jumlah besar disebut unsur makro, dalam jumlah sedang unsur oligo, dan dalam jumlah sangat sedikit unsur mikro. Unsur mikro sering terdapat sebagai ikutan (impurities) pada garam unsur makro, dan dapat masuk ke dalam medium lewat kontaminasi gelas tempatnya atau lewat partikel debu. Selain berfungsi sebagai penyusun sel, unsur mineral juga berfungsi untuk mengatur tekanan osmose, kadar ion H+(kemasaman, pH), dan potensial oksidasi-reduksi (redox potential) medium.
6. Faktor tumbuh
Faktor tumbuh ialah senyawa organik yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan (sebagai prekursor, atau penyusun bahan sel) dan senyawa ini tidak dapat disintesis dari sumber karbon yang sederhana. Faktor tumbuh sering juga disebut zat tumbuh dan hanya diperlukan dalam jumlah sangat sedikit. Berdasarkan struktur dan fungsinya dalam metabolisme, faktor tumbuh digolongkan menjadi asam amino, sebagai penyusun protein; base purin dan pirimidin, sebagai penyusun asam nukleat; dan vitamin sebagai gugus prostetis atau bagian aktif dari enzim.
7. Sumber nitrogen
Mikroba dapat menggunakan nitrogen dalam bentuk amonium, nitrat, asam amino, protein, dan sebagainya. Jenis senyawa nitrogen yang digunakan tergantung pada jenis jasadnya. Beberapa mikroba dapat menggunakan nitrogen dalam bentuk gas N2 (zat lemas) udara. Mikroba ini disebut mikrobia penambat nitrogen.
Berdasarkan sumber energi yang digunakan, mikroba dapat dibedakan atas dua grup, yaitu (Winarno dan Faedianz, 1990):
1. Organisme fototrof, yaitu organisme yang menggunakan sinar matahari untuk menghasilkan energi. Berdasarkan sumber karbon yang digunakan, organisme fototrof dibedakan lagi sebagai berikut:
Tabel 2. Perbedaan organisme fotoautotrof dan fotoheterotrof
Organisme Sumber Sumber Contoh
Fotoototrof
Fotoheterotrof Matahari
Matahari CO2
Senyawa Organik Tanaman, ganggang
Tanaman, ganggang biru-hijau
2. Organisme kimotrof, yaitu organisme yang menggunakan senyawa kimia untuk menghasilkan energi. Berdasarkan sumber karbon yang digunakan, organisme kimotrof dapat dibedakan lagi sebagai berikut:
Tabel 3. Perbedaan organisme kimotrof dan kimoheterotrof
Organisme Sumber Sumber Contoh
Kimoototrof
Kimoheterotrof Matahari
Senyawa kimia CO2
Senyawa organik Bakteri litotrof
Hewan, protozoa, fungi, bakteri
Organisme fotoheterotrof mungkin bersifat obligat atau fakultatif, tergantung pada persediaan sumber energi. Organisme fotoheterotrof obligat hidupnya sangat tergantung pada sumber energi dari sinar matahari, sedangkan yang bersifat fakultatif, jika sumbr energi dari matahari sangat berkurang, misalnya dalam keadaan gelap, organisme tersebut dapat berubah sifatnya menjadi kimoheterotrof. Demikian pula organisme kimoototrof, ada yang bersifat obligat atau fakultatif. Organisme kimoototrof obligat hidupnya sangat tergantung pada adanya sumber CO2, sedangkan yang bersifat fakultatif jika sumber CO2 sangat kurang, organisme tersebut akan berubah sifatnya menjadi kimoheterotrof (Winarno dan Faedianz, 1990).
Semua reaksi yang menghasilkan energi pad bakteri yang bersifat kimotrofik merupakan reaksi oksidasi-reduksi, yaitu pemindahan atom hidrogen atau elektron dari satu senyawa ke senyawa lainnya. Untuk dapat digunakan sebagai sumber energi, harus terjadi reaksi oksidasi reduksi dimana diperlukan persediaan suatu oksigen dan reduktan dalam jumlah berlebih. Oksidasi adalah pelepasan elektron dari suatu atom atu molekul yang bertindak sebagai donor hidrogen yang disebut reduktan, sedangkan reduksi adalah penambahan elektron pada suatu aseptor hidrogen yang disebut oksidan (Winarno dan Faedianz, 2007).
Oksidan : AH2 A + 2H
Reduksi : B + 2H BH2
Hasil kedua reaksi tersebut menunjukkan oksidasi senyawa AH2 oleh senyawa B sebagai berikut (Winarno dan Faedianz, 1990):
AH2 + B BH2 + A
Dalam hal ini AH2 adalah suatu reduktan, sedangkan senyawa B adalah oksidan. Senyawa yang dapat berfungsi sebagai oksidan atau reduktan mungkin berupa senyawa organik atau anorganik. Berdasarkan jenis senyawa yang digunakan sebagai oksidan atau reduktan, maka reaksi oksidasi yang menghasilkan energi pada mikroba dapat dibedakan sebagai berikut (Winarno dan Faedianz, 1990):
Tabel 4. Perbedaan organisme litotrofik dan organotrofik
Donor elektron Anorganik Akseptor elektron rganik
Anorganik (litotrofik) Respirasi Tidak terjadi
Organik (organotrofik) Respirasi Fermentasi
Organisme litotrof atau kimolitotrof, termasuk di antaranya beberapa jenis bakteri, adalah organisme yang memperoleh energi melalui oksidasi suatu reduktan anorganik, misalnya sulfur atau amonia. Organisme litotrof pada umumnya bersifat ototrof, yaitu mendapatkan sumber karbon dari CO2. Organisme yang tergolong organotrof mengoksidasi donor hidrogen yang berupa senyawa organik contohnya pada hewan, fungi dan kebanyakan bakteri. Jadi istilah litotrofik dan organotrofik menunjukkan perbedaan dalam donor elektronnya (Fardianz, 1992).
Cara Mikroba Memperoleh Energi
Selama ini telah dikenal beberapa macam cara metabolisme oleh mikroba untuk mendapatkan energi, misalnya dengan cara respirasi aerobik atau anaerobik, fotosintesa dan fermentasi (Fardianz, 1992).
1. Respirasi
Sel-sel yang melakukan respirasi pada umumnya mengandung enzim oksidase dan oleh karena itu mempunyai kecenderungan untuk menggunakan oksigen (O2) sebagai aseptor elektron terakhir. Molekul O2 merupakan substrat yang baik untuk direduksi pada muatan yang sangat positif (E0 = + 0,82 volt) dan tersedia dalam jumlah yang banyak di udara. Dengan demikian sel yang menjalankan respirasi dapat lebih efisien mengubah substrat menjadi energi bila dibandingkan dengan sel-sel yang melakukan fermentasi (Fardianz, 1992).
Elektron – elektron di dalam sistem respirasi ini berasal dari DPNH+H+ , yaitu hasil oksidasi dari substrat. Pasangan elektron ini dalam bentuk DPNH+H+ diubah melalui flavoprotein atau FAD dan citochroma menjadi energi dalam bentuk ATP (adenosin-ribosa-triphosphat) sebagai berikut (Fardianz, 1992):
Gambar 1. flavoprotein atau FAD dan citochroma menjadi energi dalam bentuk ATP
Pada umumnya respirasi selalu menggunakan oksigen (respirasi aerobik), tetapi beberapa sel dapat pula melakukan respirasi tanpa menggunakan oksigen dari luar tetapi menggunakan bahan anorganik yang ada di dalam substrat. Bahan-bahan anorganik ini bertindak sebagai aseptor elektron terakhir. Respirasi semacam ini disebut respirasi anaerobik seperti terlihat pada skema berikut ini (Fardianz, 1992):
Senyawa-senyawa anorganik yang dapat digunakan sebagai aseptor elektron adalah nitrat, sulfat atau CO2. Respirasi dibagi menjadi dua yaitu (Fardianz, 1992):
1. Respirasi Aerobik
Pada respirasi aerobik, oksigen bertindak sebagai akseptor hidrogen, dan reaksi oksigen dengan hydrogen akan membentuk air. Dengan kata lain, respirasi aerobic adalah reaksi oksidasi substrat menjadi CO2 dan air, membentuk energi dalam bentuk ATP. Transpor atom hydrogen dari substrat ke oksigen berlangsung melalui sitokroma. Pigmen – pigmen tersebut melakukan reaksi oksidasi – oksidasi, dimana sitokroma yang terakhir akan dioksidasi oleh oksigen membentuk air. Energi yang dikeluarkan dari reaksi hidrogen dan oksigen digunakan untuk membentuk ATP. Untuk setiap pasang atom Hidrogen yang teroksidasi akan terbentuk 3 molekul ATP. Berikut ini adalah skema proses respirasi pada organisme organotrof :
substrat reaksi – reaksi
pendahuluan
2. Respirasi Anaerobik
Beberapa bakteri tidak menggunakan oksigen sebagai oksidan, tetapi menggunakan senyawa anorganik seperti sulfat dan nitrat. Proses demikian disebut respirasi anaerobic. Sebagai contoh, bakteri dari jenis Desulfovibrio melakukan oksidasi senyawa organic menggunakan sulfat sebagai oksidan, dimana sulfat akan mengalami reduksi menjadi sulfide. Bakteri dari jenis tersebut tidak dapat menggunakan oksigen sebagai aseptor electron.
2. Fermentasi
Fermentasi merupakan teknologi yang memanfaatkan aktivitas mikroba secara efektif yang bersifat menguntungkan manusia. Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat pemecahan komponen-komponen bahan tersebut. Jika cara pengawetan yang lain ditujukan untuk mengurangi jumlah mikroba, maka proses fermentasi adalah sebaliknya yaitu memperbanyak jumlah mikroba dan menggiatkan metabolismenya. Tetapi jenis mikroba yang digunakan sangat terbatas yaitu disesuaikan dengan hasil akhir yang dikehendaki (Winarno et al., 1980). Hasil fermentasi tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. Mikroba yang bersifat fermentatif dapat mengubah karbohidrat dan turunan-turunannya menjadi alkohol, asam CO2. Mikroba proteolik dapat memecah protein dan komponen-komponen nitrogen lainnya sehingga menghasilkan bau busuk yang tidak diinginkan sedangkan mikroba lipolitik akan memecah atau menghidrolisis lemak, fosfolipida dan turunannya dengan menghasilkan bau tengik (Winarno dan Fardianz, 1990).
Fermentasi adalah suatu reaksi oksidasi-reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi, dimana sebagai donor dan aseptor elektron digunakan senyawa organik. Senyawa organik yang biasanya digunakan adalah karbohidrat dalam bentuk glukosa. Senyawa tersebut akan diubah oleh reaksi reduksi dengan katalis enzim menjadi sutu bentuk lain misalnya aldehida, dan dapat dioksidasi menjadi asam (Winarno dan Fardianz, 1990).
Sel-sel yang melakukan fermentasi mempunyai enzim-enzim yang akan mengubah hasil dari reaksi oksidasi, dalam hal ini adalah asam, menjadi suatu senyawa yang mempunyai muatan lebih positif sehingga dapat menangkap elektron atau bertindak sebagai aseptor elektron terakhir dan menghasilkan energi. Secara lebih jelas reaksi tersebut dapat diterangkan melalui skema sebagai berikut (Fardianz, 1992) :
Di dalam proses fermentasi, kapasitas mikroba untuk mengoksidasi tergantung dari jumlah aseptor elektron terakhir yang dapat dipakai. Secara lebih singkat skema proses fermentasi adalah sebagai berikut (Fardianz, 1992) :
3. Metabolisme Litotropik atau Autotropik
Bila pada respirasi anaerobik senyawa-senyawa anorganik dapat digunakan sebagai aseptor elektron, maka beberapa bakteri tertentu dapat menggunakan senyawa-senyawa anorganik sebagai donor elektron. Metabolisme semacam ini disebut metabolisme litotropik atau autotropik, sedangkan metabolisme yang menggunakan senyawa organik sebagai donor elektron disebut metabolisme organotropik (Winarno dan Faedianz, 1990).
Senyawa-senyawa anorganik yang dapat digunakan oleh bakteri litotropik sebagai donor elektron misalnya senyawa nitrogen tereduksi (nitrit, amonia). Bakteri-bakteri ini biasanya menggunakan CO2 sebagai sumber utama dari karbon (Winarno dan Faedianz, 1990).
Bakteri hidrogen akan mengoksidasi molekul hidrogen sebagai berikut (Djide dkk. 2007) :
2H2 + O2 2H2O
“Nitrifying bacteria” terdiri dari dua jenis yaitu Nitrosomonas sp. yang mengoksidasi amonia menjadi nitrit, dan Nitrobacter sp. yang mengoksidasi nitrit menjadi nitrat sebagai berikut (Djide dkk. 2007) :
Bakteri sulfur yang tidak berwarna misalnya Thiobacillus sp. dapat mengoksidasi beberapa senyawa yang mengandung sulfur misalnya (Djide dkk. 2007) :
Bakteri sulfur yang lainnya misalnya Beggiatoa sp. dan Thiothrix sp. dapat menyimpan sulfur di dalam selnya, sebagai hasil oksidasi dari H2S. Jika persediaan H2S habis maka sulfur persediaan tersebut akan digunakan untuk metabolisme dan dioksidasi menjadi sulfat (Djide dkk. 2007).
Bakteri besi termasuk Ferrobacillus sp. dapat mengoksidasi besi ferro menjadi ferri sebagai berikut (Djide dkk. 2007) :
4Fe2+ + 4H+ +O2 4Fe3+ + 2H2O
B. KETERATURAN DAN PEMECAHAN KARBOHIDRAT
Pada umumnya pemecahan karbohidrat berlangsung melalui suatu degradasi dari gula monosakarida yaitu glukosa menjadi asam piruvat. Pemecahan glukosa menjadi asam piruvat dapat melalui dua cara yaitu sistem heksosa diphosphat (HDP) dan heksosa monophosphat (HMP) (Fitria, 2007).
Pada umumnya mikroba hanya dapat menjalankan salah satu sistem, akan tetapi beberapa mikroba tertentu dapat melakukan kedua sistem pemecahan gula tersebut. Hal ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi mikroba yaitu dengan cara melihat hasil-hasil dari pemecahan glukosa (Fitria, 2007).
Secara singkat rumus glukosa dapat dituliskan sebagai berikut (Fitria, 2007):
Heksosa Diphosphat (HDP)
Tahap pertama dari pemecahan glukosa secara sistem heksosa diphosphat (HDP) adalah phosphorilasi glukosa, yaitu pemindahan ikatan phosphat yang mempunyai energi tinggi dari ATP kedalam glukosa pada atom C nomor enam. Reaksi ini berlangsung dengan bantuan enzim kinase dan katalisator Mg2+ (Fitria, 2007).
Tahap kedua terjadi reaksi isomerisasi dari glukosa-6-phosphat (G-6-P), yang menghasilkan 2-keto-glukosa-6-phosphat yaitu fruktosa-6-phosphat (F-6-P), dengan pertolongan enzim isomerase dan katalisator Mg2+. Reaksi ini adalah suatu reaksi bolak-balik (Fitria, 2007).
Tahap ketiga adalah pemindahan phosphat baru dari ATP ke F-6-P pada atom C nomor 1, dengan pertolongan enzim kinase. Hasilnya adalah fruktosa-1, 6-diphosphat (F-1, 6-diP), dan reaksinya berjalan satu arah (Fitria, 2007).
Tahap keempat adalah pecahnya F-1, 6-diP pada ikatan antara atom Cnomor tiga dan nomor empat menjadi bentuk aldol, yaitu dengan pertolongan enzim aldolase. Reaksi tersebut berjalan bolak-balik dengan hasil reaksinya adalah dehidroksi-aseton-phosphat (DHAP) dan gliseraldehida-3-phosphat (G-3-P) (Fitria, 2007).
Agar lebih jelas cara pemecahan tersebut dapat diterangkan sebagai berikut (Fitria, 2007):
Tahap kelima terjadi oksidasi dari aldehida dengan pertolongan enzim dehidrogenase, dan sebagai akseptor elektron adalah DPN. Reaksi ini adalah reaksi bolak-balik dan menghasilkan asam 1,3-diphospho-gliserat (G-1,3-diP). Energi yang dihasilkan dari oksidasi ini digunakan untuk membentuk ikatan kimia yang mempunyai energi tinggi (Fitria, 2007).
Tahap keenam terjadi perpindahan ikatan kimia yang mempunyai energi tinggi dari atom C nomor satu ke ADP dengan menghasilkan ATP dan asam 3-phospho-gliserat (asam 3-P-gliserat), dengan pertolongan enzim kinase. Reaksi tersebut adalah reaksi bolak-balik (Fitria, 2007).
Tahap ketujuh terjadi setelah isomerisasi phosphat pada asam gliserat dari atom C nomor tiga ke atom C nomor dua, dengan pertolongan enzim isomerase. Reaksi ini disertai dengan dehidrogenasi yang menghasilkan H2O dan berjalan bolak-balik (Fitria, 2007).
Pelepasan H2O pada tahap ketujuh akan dapat meninggikan energi dari ikatan phodphat, sehingga pada tahap kedelapan ikatan phosphat akan berpindah ke ADP untuk membentuk ATP dengan pertolongan enzim kinase. Hasilnya adalah asam piruvat, dan reaksi ini berjalan bolak-balik (Fitria, 2007).
Skema Heksosa Diphosphat (HDP)
Melalui sistem HDP, setiap molekul glukosa dapat menghasilkan dua molekul triose phosphat. Di dalam reaksi tersebut diperlukan dua molekul ATP. Masing-masing triose phosphat yang terbentuk kemudian dapat menghasilkan satu molekul asam piruvat, dua molekul ATP dan sepasang elektron yaitu DPNH+H+. Jadi secara singkat reaksi pemecahan glukosa tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Fitria, 2007):
Didalam reaksi tersebut terlihat bahwa pemecahan sebuah molekul glukosa menjadi dua molekul asam piruvat memerlukan dua molekul ATP dan menghasilkan empat molekul ATP serta dua pasang elektron (2 DPNH+H+), sehingga hasil akhirnya adalah dua molekul ATP dan dua pasang elektron (Fitria, 2007).
Asam piruvat yang merupakan hasil pemecahan glukosa melalui sistem HDP adalah senyawa yang penting karena melalui senyawa ini dapat dihasilkan banyak sekali jenis senyawa-senyawa lainnya misalnya asam laktat, alkohol, asam formiat, asam butirat, asam asetat, asam propionat dan sebagainya (Fitria, 2007).
Didalam reaksi perubahan asam piruvat menjadi senyawa-senyawa tersebut biasanya terjadi proses oksidasi-reduksi dengan menggunakan DPNH + H+ sebagai donor elektron (Fitria, 2007).
Heksosa Monophosphat (HMP)
Hanya sebagian kecil atau beberapa jenis bakteri tertentu saja yang dapat melakukan pemecahan glukosa dengan cara heksosa monophosphat (HMP). Berbeda dengan sistem HDP, maka sistem HMP ini tidak menghasilkan senyawa pertengahan (intermediate) berupa heksosa diphosphat (fruktosa-1,6-diphosphat). Pada sistem HMP setelah glukosa mengalami phosphorilasi pada atom C nomor enam dengan pertolongan enzim kinase dan ATP, kemudian dioksidasi menjadi asam 6-phospho-glukonat (6-PG) dengan pertolongan enzim dehidrogenase sebagai berikut (Fitria, 2007) :
Asam 6-phospho glukonat kemudian mengalami dekarboksilasi dan oksidasi dengan pertolongan enzim dekarboksilase sehingga menghasilkan CO2 dan suatu pentosa yaitu D-ribulose-5-phosphat (Ru-5-P), seperti terlihat pada reaksi dibawah (Fitria, 2007) :
Beberapa jenis mikroba yang menjalankan fermentasi dapat mmecah gula pentosa phosphat (C5) menjadi senyawa dua karbon (C2) dan triose phosphat sebagai berikut (Fitria, 2007) :
Triose phosphat (G-3-P) kemudian dioksidasi sehinga menjadi asam piruvat, sedangkan elektron-elektron yang dihasilkan dari oksidasi ini digunakan untuk mereduksi asam piruvat menjadi asam laktat, seperti terlihat pada reaksi dibawah ini (Fitria, 2007) :
Senyawa dua karbon yang terbentuk (C-C) direduksi untuk menampung elektron-elektron yang berasal dari hasil oksidasi G-6-P menjadi 6-PG dan dari 6-PG menjadi Ru-5-P, dengan menghasilkan alkohol seperti terlihat pada reaksi dibawah ini (Fitria, 2007) :
Secara singkat hasil fermentasi glukosa menurut sistem HMP dapat dituliskan sebagai berikut (Fitria, 2007) :
Ternyata beberapa jenis bakteri tertentu selain menggunakan sistem HDP juga dapat menggunakan sistem fermentasi HMP jika suatu ketika mengalami kekurangan enzim-enzim yang iperlukan dalam pemecahan glukosa secara HDP. Contoh dari bakteri tersebut misalnya Leuconostoc sp (Fitria, 2007).
Tahap-tahap pemecahan glukosa menjadi asam laktat menurut sistem HMP dapat digambarkan dalam suatu diagram seperti dibawah ini (Fitria, 2007) :
Skema Heksosa Monophosphat (HMP)
Pemecahan Gula Secara “Entner doudoroff”
Cara lain untuk memecah gula adalah secara “Entner Doudoroff” yang dikenal sebagai “Entner Doudoroff Split”. Cara ini ditemukan pada beberapa bakteri tertentu terutama pada bakteri golongan pseudomonad (Fitria, 2007).
Dengan cara “entner Doudoroff” ini glukosa mula-mula mengalami phosphorilasi menjadi glukosa-6-phosphat (G-6-P) dan kemudian dioksidasi menjadi 6-phospho glukonat (6-PG). Selanjutnya 6-PG mengalami dehidrasi (-H2O) dan dipecah menjadi asam piruvat dan triose phosphat, seperti terlihat pada reaksi di bawah ini (Fitria, 2007) :
Mikroba yang melakukan fermentasi dengan cara ini akan mengoksidasi triose phosphat dan mengubahnya menjadi asam piruvat. Beberapa asam piruvat direduksi menjadi asam laktat dan sisanya akan mengalami dekarboksilasi menjadi CO2 dan asetaldehida. Kemudian asetaldehida direduksi menjadi etil alkohol, seperti terlihat pada gambar dibawah ini (Fitria, 2007) :
C. Metabolit Primer dan Sekunder
1. Metabolit Primer
Metabolit primer adalah senyawa yang berupa produk akhir dalam metabolisme dengan bobot molekul yang kecil dan digunakan sebagai bahan dasar pembangun makromolekul atau dikonversikan menjadi koenzim. Selain itu termasuk senyawa-senyawa intermediet pada jalur Embden-Meyerhof, Pentosa Phosphate,siklus asam trikarboksilat (siklus Krebs). Contohnya: Asam-asam organik seperti asam sitrat, asam fumarat, asam amino, dan lain-lain (Fardiaz, 1992).
Senyawa metabolisme primer merupakan senyawa yang dihasilkan oleh makhluk hidup dan bersifat essensial bagi proses metabolisme sel tersebut. Senyawa ini dikelompokkan menjadi 4 kelompok makromolekul yaitu karbohidrat, protein, lipid,dan asam nukleat (Fardiaz, 1992).
A. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan kelompok makromolekul yang tersusun atas atom C,H,dan O. kelompok ini sering disebut juga gula-gula hidrokarbon.
Berdasarkan jumlah monomer penusunnya, karbohidrat terbagi atas:
1. Monosakarida yang tersusun atas 1 monomer,
2. Disakarida yang tersusun atas 2 monomer,
3. Oligosakarida yang tersusun atas 3-10, dan
4. Polisakarida yang tersusun atas lebih dari 10 monomer.
B. Protein
Protein merupakan suatu senyawa makromolekul yang tersusun atas atom C, H, O, N, dan S. Berdasarkan fungsinya protein dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:
1. Protein fungsional yaitu kelompok Enzim, dan
2. Protein Struktural yaitu protein yang menyusun bagian struktural dari dalam sel seperti protein integral dan protein perifer yang menyusun bagian membran sel.
C. Lipid
Lemak merupakan golongan senyawa metabolit primer yang bersifat hidrofobik. Senyawa ini dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu:
1. Lemak yang tersusun atas asam lemak dan gliserol,
2. Sterol yang merupakan penyusun membran sel makhluk hidup, dan
3. Kolesterol
D. Nukleat
Asam nukleat merupakan komponen yang terdiri atas atom C, H, O, dan P. Biasanya asam nukleat terdiri atas 3 bagian yaitu gula ribosa, basa nitrogen, dan fosfat.
Berdasarkan fungsinya, asam nukleat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu :
1. Sebagai komponen materi genetik, contohnya : DNA, RNA
2. Sebagai energi kimia, contohnya: ATP, GTP, UTP
3. Sebagai kofaktor, contohnya : NAD, FAD, Koenzim A
4. Sebagai komponen regulator, contohnya : cAMP, cGMP
2. Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang tidak esensial bagi pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau berbeda-beda antara spesies yang satu dan lainnya. Setiap organisme biasanya menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang berbeda-beda, bahkan mungkin satu jenis senyawa metabolit sekunder hanya ditemukan pada satu spesies dalam suatu kingdom. Senyawa ini juga tidak selalu dihasilkan, tetapi hanya pada saat dibutuhkan saja atau pada fase-fase tertentu. Fungsi metabolit sekunder adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, misalnya untuk mengatasi hama dan penyakit, menarik polinator, dan sebagai molekul sinyal (Fardiaz, 1992).
Senyawa metabolit sekunder diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama, yaitu (Fardiaz, 1992):
• Terpenoid (Sebagian besar senyawa terpenoid mengandung karbon dan hidrogen serta disintesis melalui jalur metabolisme asam mevalonat). Contohnya monoterpena, seskuiterepena, diterpena, triterpena, dan polimer terpena.
• Fenolik (Senyawa ini terbuat dari gula sederhana dan memiliki cincin benzena, hidrogen, dan oksigen dalam struktur kimianya). Contohnya asam fenolat, kumarina, lignin, flavonoid, dan tanin.
• Senyawa yang mengandung nitrogen. Contohnya alkaloid dan glukosinolat.
Sebagian besar tanaman penghasil senyawa metabolit sekunder memanfaatkan senyawa tersebut untuk mempertahankan diri dan berkompetisi dengan makhluk hidup lain di sekitarnya. Tanaman dapat menghasilkan metabolit sekunder (seperti: quinon, flavonoid, tanin, dll.) yang membuat tanaman lain tidak dapat tumbuh di sekitarnya. Hal ini disebut sebagai alelopati. Berbagai senyawa metabolit sekunder telah digunakan sebagai obat atau model untuk membuat obat baru, contohnya adalah aspirin yang dibuat berdasarkan asam salisilat yang secara alami terdapat pada tumbuhan tertentu. Manfaat lain dari metabolit sekunder adalah sebagai pestisida dan insektisida, contohnya adalah rotenon dan rotenoid. Beberapa metabolit sekunder lainnya yang telah digunakan dalam memproduksi sabun, parfum, minyak herbal, pewarna, permen karet, dan plastik alami adalah resin, antosianin, tanin, saponin, dan minyak volatil (Fardiaz, 1992).
Beberapa contoh dari metabolit sekunder adalah (Fardiaz, 1992):
Kelas Contoh Senyawa Contoh Sumber Efek dan kegunaan
SENYAWA MENGANDUNG NITROGEN
Alkaloid Nikotin, kokain, teobromin Tembakau, coklat Mempengaruhi neurotransmisi dan menghambat kerja enzim
TERPENOID
Monoterpena Mentol, linalool Tumbuhan mint dan banyak tumbuhan lainnya Mempengaruhi neurotransmisi, menghambat transpor ion, anestetik
Diterpen Gossypol Kapas Menghambat fosforilasi, toksik
Triterpena, glikosida kardiak (jantung) Digitogenin Digitalis (Foxglove digitalis sp.) Stimulasi otot jantung, memengaruhi transpor ion
Sterol spinasterol Bayam Mempengaruhi kerja hormon hewan
Asam fenolat Kafeat, klorogenat Semua tanaman Menyebabkan kerusakan oksidatif, timbulnya warna coklat pada buah dan wine.
Tannins gallotanin, tanin terkondensasi oak, kacang-kacangan Mengikat protein, enzim, menghambat digesti, antioksidan.
Lignin Lignin Semua tanaman darat Struktur, serat
Metabolit sekunder, hasil matebolisme yang tidak digunakan untuk proses pertumbuhan, tetapi untuk pertahanan diri, contoh: protein, asam lemak, karbohidrat, senyawa antimikroba, dll. Pada jalur biosintesis metabolit sekunder dapat terdiri dari berbagai jalur, mulai dari yang sederhana sampai dengan jalur yang rumit. Umumnya berasal atau berawal dari metabolit primer (asetil CoA, asam mevalonat, asam sikimat, dll). Metabolit sekunder ini unik untuk setiap mikroorganisme, bergantung pada lingkungan habitatnya. Ada beberapa contoh metabolit sekunder pada mikroorganisme yaitu: antibiotic, pigmen, vitamin, dan lain-lain (Fardiaz, 1992).
Beberapa contoh metabolit sekunder mikroba dan manfaatnya (Fardiaz, 1992) :
1. Antibiotik: penisilin (Penicillium chrysogeum), sefalosporin (Cephalosporium acremonium).
2. Imunosupresan: silosporin (Trichoderma polysoprum).
3. Bidang pertanian: growth promoter Zearalonone (Gibberella zeae).
4. Enzim: amylase (Asoegillus niger), lipase (Pseudomonas aeruginosa).
5. Pigmen: ankaflavin (Monascus purpureus).
Metabolit sekunder mikroba yang merupakan senyawa toksik (Fardiaz, 1992):
1. Toksik dari fungi mikotoksin, contoh: aflatoksin (Aspergillus flavus), sitrinin (Penicillium citrinum).
2. Toksik dari bakteri bakterotoksin, contoh: endotoksin.
3. Dapat dimanfaatkan untuk merancang obat berdasarkan struktur molekul toksin.
Penicillium di atas selai menghasilkan patulin, senyawa yang paling awal dirancang untuk menjadi antibiotik, tetapi ternyata toksik untuk mamalia (Fardiaz, 1992).
Aflotoksin diproduksi dari anggota Aspergillus parasiticus yang dihasilkan melalui jalur poliketida. Jalur ini kurang lebih mempunyai 20 langkah, dan hasil akhir menghasilkan suatu keanekaragaman dari campuran ( bisfuranokumarin) yang dapat dikonversi satu ke yang lain (Fardiaz, 1992).
Pada umumnya metabolit sekunder mikroorganisme merupakan makromolekul yang disebut biomakromolekul. Mikroorganisme yang dimanfaatkan atau dimanipulasi agar menghasilkan produk yang bermanfaat dan dapat diproduksi dalam skala industri disebut mikroba industri (Fardiaz, 1992) .
Mikroorganisme atau Mikroba Industri (Fardiaz, 1992) :
1. Prokariot (Eubakteri, Archaebakteri)
2. Eukariot (Fungi: Kapang, Ragi, Jamur, Algae, Protozoa)
3. Pathogen dan non-patogen
4. Pemanfaatan dalam bioteknologi klasik dan bioteknolgi modern.
5. Streptomyces merupakan kelompok bakteri yang paling banyak dimanfaatkan metabolit sekundernya di bidang farmasi.
Kapang yang sering dimanfaatkan: Ascomycota, Deuteromycota. Proses pertumbuhan akan menghasilkan senyawa-senyawa yang dikenal sebagai metabolit. Senyawa metabolit ada dua jenis, yakni metabolit primer dan metabolit sekunder (Djide, 2007).
Metabolit primer adalah hasil metabolisme yang digunakan untuk kelangsungan hidup organisme misalnya untuk pertumbuhan. Contohnya, asam amino, asetil Ko-A, karbohidrat, asam nukleat, nukleotida, asam sitrat, dan lain-lain. Metabolit sekunder adalah hasil metabolisme yang tidak digunakan untuk proses pertumbuhan organisme tetapi untuk keperluan lain, misalnya untuk pertahanan diri. Untuk mikroorganisme contohnya, asam indol asetat, giberelin, penisilin, dan aflatoksin (Rao, 1994).
Beberapa ahli mengemukakan bahwa metabolit primer juga mencakup senyawa-senyawa intermediet yang terbentuk selama katabolisme melalui Embden-Meyerhof-Parnas, siklus pentose, dan siklus trikarboksilat. Dengan demikian, asam-asam organik seperti asam sitrat, asam fumarat, asam glukonat, asam laktat, dan sebagainya juga digolongkan sebagai metabolit primer (Djide, 2007).
Salah satu contoh produksi metabolit primer yaitu produksi asam amino melalui proses mikrobial antara lain adalah produksi L-asam glutamat, yang dikenal dengan nama monosodium glutamat (Djide, 2007).
Gambar 2. Biosintesis L-asam glutamat
Selama fase stasioner beberapa kultur mikroorganisme mensintesa persenyawaan-persenyawaan yang tidak dihasilkan selama fase tropofase dan tidak mempunyai fungsi yang nyata pada metabolisme mikroorganisme. Persenyawaan-persenyawaan ini digolongkan sebagai metabolit sekunder dan fase di mana metabolit tersebut dihasilkan dikenal dengan nama iodophasa (Djide dkk., 2007).
Aflatoksin adalah suatu metabolit sekunder yang terbentuk setelah fase logaritmik pertumbuhan kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (Lunggani, 2007).
Aflatoksin menarik perhatian mikrobiologiawan di Inggris pada tahun 1960 ketika tidak terbilang banyaknya kalkun dan bebek yang mati karena makanannya yang berupa bubur dedak kacang tanah terkontaminasi Aspergillus flavus. Manivestasi penyakit pada kalkun yang terinfeksi tampak karena adanya kerusakan hati dan ginjal hewan oleh aflatoksin. Sejak permulaan ledakan penyakit kalkun ini, telah banyak dilakukan penelitian mengenai aspek bikimiawi dan mikrobiologis aflatoksin dan sekarang telah diketahui bahwa aflatoksin terdiri dari beberapa unsur seperti aflatoksin yang secara kromatografis dapat dipisahkan yaitu B1, B2, G1, G2, M1, M2, dan seterusnya (Rao, 1994).
Aflatoksin diketahui memiliki sifat karsinogenik dan terutama mempengaruhi hewan-hewan seperti burung, ikan, lembu, domba, kambing, dan lain-lain. Manusia jarang terpengaruh oleh aflatoksin kecuali bila makan kacang tanah yang mengandung Aspergillus flavus dalam jumlah besar. Terdapat laporan yang menyiratkan terjadinya penimbunan sejumlah besar aflatoksin di dalam air susu ibu yang diberi makan makanan yang berasal dari biji-bijian yang berjamur (Rao, 1994).
Produksi aflatoksin secara eksperimental dengan menginokulasikan Aspergillus flavus telah dilaporkan dapat dilakukan terhadap beberapa komoditi pertanian seperti kopra, gandum, padi, biji kapas, gandum hitam, kacang tanah, jagung, dan semanggi. Tampaknya, terdapat tingkat kekhususan galur dalam produksi aflatoksin sedangkan isolate lainnya tidak. Survei pada biji-bijian domestik mengenai kadar aflatoksinnya berdasarkan standar biji resmi Amerika Serikat menunjukkan bahwa keberadaan racun ini pada sorgum dapat sangat rendah yaitu 3-6 µg/kg biji sedangkan pada jagung kadarnya mencapai 13-15 µg/kg. Tanaman akar seperti ketela pohon, kentang, kopi, dan tanaman pakan juga diketahui terkontaminasi dengan aflatoksin. Tingginya kelembaban pada masa panen dan metode pengeringan pascapanen yang kurang tepat merupakan faktor-faktor utama yang menyebabkan masuknya jamur-jamur Aspergillus penghasil aflatoksin ke dalam biji (Rao, 1994).
Juga terdapat beberapa laporan mengenai pengaruh aflatoksin terhadap tanaman tingkat tinggi. Pengaruh ini meliputi penghambatan perkecambahan biji, induksi defisiensi klorofil, kerusakan mitokondria, gangguan pada asam nukleat terutama RNA duta dan penghambatan macam-macam sistem enzim. Racun ini menghambat pertumbuhan Rhizobium in vitro dan perbintilan akar pada kecambah semanggi kelompok (Trifolium glomeratum) yang ditumbuhkan pada agar miring. Racun ini juga menginduksi pembentukan tonjolan serupa bintil pada sistem perakaran walaupun tanpa Rhizobium (Rao, 1994).
Asam indol asetat juga merupakan salah satu metabolit sekunder pada mikroorganisme. Banyak spesies bakteri dan jamur menghasilkan asam indol asetat (IAA) dalam jumlah sedikit, terutama apabila medium pertumbuhannya ditambah dengan triptofan penyusun IAA. Misalnya, Agrobacterium tumefaciens, Ustilago maydis, Synchytrium endobioticum, Gymnosporangium juniper-virginianae, Nectria galligena, Endophyllum sempervivi, Rhizobium sp., Rhizopus suinus, dan Pseudomonas fluorescens menghasilkan IAA dalam kultur murni atau dalam asosiasi dengan tanaman tinggi. Beberapa pengaruh morfogenik yang penting dari IAA terhadap pertumbuhan tanaman adalah pemanjangan batang dan pembentukan bintil yang merupakan reaksi inang terhadap auksin (Rao, 1994).
Salah satu contoh sederhana tentang interaksi antara IAA yang dihasilkan mikroba dengan tanaman inang adalah fenomena pembengkokan bulu akar, sebagaimana terlihat pada tanaman leguminosa yang telah terinokulasi Rhizobium. Salah satu contoh IAA yang dihasilkan oleh mikroba yang menyebabkan terjadinya hipertrofi sel-sel tanaman adalah jaringan bintil mahkota (the crown-gall tissue) yang disebabkan oleh Agrobacterium tumefaciens. Struktur-struktur serupa bintil yang terlihat pada berbagai tanaman dipandang terutama disebabkan oleh IAA yang bekerjasama dengan suatu prinsip penginduksi tumor (TIP) yang belum dikenal yang dihasilkan oleh mikroorganisme penyebab. Beberapa kasus hiperauksini (penimbunan auksin di dalam jaringan tubuh inang sebagai akibat interaksi antara mikroorganisme pathogen dan tanaman inang) telah dilaporkan dalam literatur. Contoh-contoh hiperauksini adalah penyakit layu tanaman yang disebabkan oleh Verticillium yang berakibat matinya tanaman karena kekurangan air dan penyakit karat pada jagung yang disebabkan oleh Ustilago maydis yang menghasilkan bintil-bintil membulat yang besar pada daun, batang, dan tangkai bunga. Walaupun demikian, perlu diingat bahwa IAA yang dihasilkan oleh mikroorganisme-mikroorganisme parasit ini bekerjasama dengan senyawa-senyawa lain yang dihasilkan dalam tubuh inang karena adanya interaksi antara inang dan parasit (Rao, 1994).
Hidup matinya suatu mikroorganisme di alam dipengaruhi oleh kemampuannya untuk mengadaptasi terhadap lingkungan yang selalu berubah. Organisme yang beradaptasi dengan cepat dan dapat menyesuaikan proses metabolismenya untuk tumbuh secara lebih efisien akan menang dalam kompetisi dengan mikroorganisme lainnya. Mikroorganisme mempunyai beberapa mekanisme untuk mengatur metabolismenya pada keadaan perubahan lingkungan. Proses adaptasi ada dua, yaitu adaptasi genotip dan adaptasi fenotip (Djide dkk., 2007).
Dalam suatu populasi organisme, selalu terdapat mutan alami dengan frekuensi satu dalam 107 set sampai dengan satu dalam 1010 sel. Jika mutan tersebut lebih dapat dengan lingkungan daripada induknya, mutan akan tumbuh lebih cepat dan menjadi dominan dalam populasi. Adaptasi yang disertai dengan perubahan dalam gen (genom) disebut adaptasi genotip. Dibutuhkan beberapa generasi sebelum mutan genotip tersebut menggantikan genotip orang tuanya sebagai organisme dominan dalam populasi (Djide dkk., 2007).
Dalam adaptasi fenotip, penyesuaian diri terhadap lingkungan lebih cepat, yaitu kurang dari satu waktu generasi. Adaptasi demikian tidak disebabkan oleh perubahan genom sel dan disebut adaptasi fenotip. Dalam adaptasi ini, organisme menyesuaikan diri dengan cara mengatur metabolisme sehingga dapat tumbuh lebih efisien dalam kondisi atau lingkungan yang baru. Cara adaptasi dengan fenotip ini dapat dilakukan dengan cara mengatur sintesis enzim dan mengatur aktivitas enzim (Djide dkk., 2007).
BAB III
PENUTUP
Layaknya makhluk hidup lain, setiap mikroorganisme membutuhkan energi untuk menjalankan kehidupannya. Energi diperoleh dari pemecahan karbohidrat, protein, lemak, asam nukleat, nukleotida, dan sebagainya. Namun, yang paling sering terjadi adalah pemecahan karbohidrat. Di mana pemecahan nutrien ini di samping akan menghasilkan energi, juga bertujuan untuk mensintesis metabolit primer dan sekunder.
Karena kemajuan teknologi, metabolit primer dan sekunder kini telah banyak ditemukan manfaatnya. Namun, tidak jarang pula bahkan lebih banyak metabolit mikroorganisme yang bersifat toksik. Untuk inilah maka diperlukan adanya penelitian untuk pengaturan metabolit mikroorganisme ini sehingga metabolit mikroorganisme tidak akan merugikan manusia lagi tetapi justru akan mendatangkan keuntungan yang besar.
DAFTAR PUSTAKA
Djide, N., Sartini, dan Kadir, S., 2007, Bioteknologi Farmasi, Unhas press, Makassar.
Fardiaz, S., 1992, Mikrobiologi Pangan 1, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fitria, B., 2007, Pertumbuhan Bakteri (online), (http://www.farmasiku.com, diakses pada tanggal 4 April 2011 pukul 09.15 WITA).
Lunggani, A.T., 2007, Kemampuan Bakteri Asam Laktat dalam Menghambat Pertumbuhan dan Produksi Aflatoksin B2 Aspergillus flavus, BIOMA (online), 9(II)45-51, (http:www.google.com, diakses pada tanggal 24 Maret 2011 pukul 13.02 WITA).
Machmud, M., 2008, Teknik Penyimpanan dan Pemeliharaan Mikroba (online), (http://www.indobiogen.co.id, diakses pada tanggal 31 Maret 2011 Pukul 15.00 WITA).
Rao, N.S.S., 1994, Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman Edisi Kedua, UI press, Jakarta.
Winarno dan Faedianz, 1990, Biofermentasi dn Biosisntesa Protein, Angkasa, Bandung.
AKTIVITAS METABOLISME MIKROBA
KELOMPOK 4
SUHENDRA ISKANDAR (H311 08 266)
FEROSDIANA PAGA (H311 06 501)
ASBULLAH AHMAD (H311 08 261)
FADLIAH (H311 08 264)
MEITY JOLANDA KAROMA (H311 08 262)
PUTRI SEPTIA ANDINI (H311 08 265)
DEWIANTI POPANG P. (H311 08 270)
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………………..1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………2
A. KEBUTUHAN ENERGI BAGI MIKROBA…………………………………………2
B. KETERATURAN DAN PEMECAHAN KARBOHIDRAT………………………..13
C. METABOLIT PRIMER DAN SEKUNDER………………………………………..21
BAB IV. PENUTUP……………………………………………………………………..31
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………32
BAB I
PENDAHULUAN
Mikroorganisme atau mikroba adalah organisme mikroskopik yang sebagian besar berupa satu sel yang terlalu kecil untuk dapat dilihat menggunakan mata telanjang. Mikroba berukuran sekitar seperseribu milimeter (1 mikrometer) atau bahkan kurang, walaupun ada juga yang lebih besar dari 5 mikrometer. Karenanya, mikroba hanya bisa dilihat dengan menggunakan alat bantu berupa mikroskop.
Bakteri memiliki berbagai aktivitas biokimia (pertumbuhan dan perbanyakan) dengan menggunakan raw material (nutrisi) yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Transformasi biokimia dapat timbul didalam dan diluar dari bakteri yang diatur oleh katalis biologis yang dikenal sebagai enzim. Setiap bakteri memiliki kemampuan dalam menggunakan enzim yang dimilikinya untuk degradasi karbohidrat, lemak, protein, dan asam amino. Metabolisme atau penggunaan dari molekul organik ini biasanya menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk identifikasi dan karakterisasi bakteri. pengamatan aktivitas biokimia atau metabolisme mikroorganisme yang diketahui dari kemampuan mikroorganisme untuk menggunakan dan menguraikan molekul yang kompleks seperti karbohidrat, lemak, protein dan asam nukleat. Selain itu dilakukan pula pengamatan pada molekul-molekul sederhana seperti asam amino dan monosakarida. Dan hasil dari berbagai uji ini digunakan untuk perincian dan identifikasi mikroorganisme. Penggunaan zat hara tergantung dari aktivitas metabolisme mikroba. Metabolisme seringkali menghasilkan hasil sampingan yang dapat digunakan untuk identifikasi mikroorganisme. Pengamatan aktivitas metabolisme diketahui dari kemampuan mikroorganisme untuk menggunakan dan menguraikan molekul yang kompleks seperti zat pati, lemak, protein dan asam nukleat. Selain itu pengamatan juga dilakukan pada molekul yang sederhana seperti amino dan monosakarida.
Mikroba terdapat dimana-mana dalam alam. Mikroba dapat ditemui mulai dari dasar lautan yang paling dalam sampai ke puncak gunung yang paling tinggi. Mikroba ada yang hidup dalam air dingin, juga ada yang tahan hidup dalam air panas pada suhu tinggi bahkan ada yang sampai 250 derajat Celcius. (extremophilic).
Mikroba menjadi salah satu tumpuan pengembangan bioteknologi. Beberapa aspek dari mikroba menjadi sumber ketakutan. HIV, SARS, flu burung, antraks merupakan topik-topik yang menimbulkan ketakutan luar biasa bagi manusia, tetapi melalui riset dan teknologi mampu mendatangkan dana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KEBUTUHAN ENERGI BAGI MIKROBA
Untuk pertumbuhannya, mikroorganisme membutuhkan senyawa-senyawa nutritif yang digunakan untuk sintesa komponen sel dan untuk menghasilkan energi. Untuk menghasilkan komponen sel tersebut dan energi dalam bentuk ATP maka dibutuhkan sumber seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan beberapa jenis mineral (Djide dkk., 2007).
Di dalam tubuh mikroorganisme terjadi proses metabolisme yaitu suatu proses perubahan senyawa yang satu menjadi senyawa lain. Proses metabolisme mencakup semua reaksi kimia dan biologi yang terjadi di dalam sel mikroorganisme. Metabolisme mikroorganisme dikenal dua proses, yaitu (Djide dkk., 2007) :
1. Proses katabolisme di mana terjadi pembentukan energi.
2. Proses anabolisme di mana dibutuhkan energi.
Oleh karena itu, di dalam sel mikroorganisme terjadi dua proses utama, yaitu:
1. Produksi energi dari berbagai substrat yang tersedia.
2. Pembentukan intermediet yang dibutuhkan untuk produksi biokimia dan komponen sel lainnya.
Nutrien dibutuhkan oleh mikroba sebagai sumber energi. Energi tersebut diperoleh dari nutrien melalui proses katabolisme. Katabolisme dapat terjadi melalui dua cara, yakni secara aerob dan anaerob. Katabolisme nutrien secara aerob memerlukan oksigen bebas dalam mengoksidasi nutrien untuk memperoleh energi. Sementara, katabolisme anaerob tidak memerlukan oksigen bebas. Energi dipergunakan oleh mikroba layaknya makhluk hidup lain yaitu tumbuh, berkembang, bergerak, bereproduksi, dan lain-lain (Fitria, 2009).
Nutrien utama yang menjadi sumber energi utama bagi mikroba adalah karbohidrat. Tiap mikroorganisme memecah karbohidrat menjadi bentuk yang berbeda-beda secara anaerob ataupun aerob. Beberapa contoh hasil pemecahan karbohidrat oleh mikroorganisme antara lain (Djide dkk., 2007):
1. Secara Anaerob
2. Secara Aerob
Di samping untuk menghasilkan energi, pemecahan karbohidrat juga bertujuan untuk menghasilkan metabolit primer dan metabolit sekunder (Djide dkk., 2007).
Medium pertumbuhan (disingkat medium) adalah tempat untuk menumbuhkan mikroba. Mikroba memerlukan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan energi dan untuk bahan pembangun sel, untuk sintesa protoplasma dan bagian-bagian sel lain. Setiap mikroba mempunyai sifat fisiologi tertentu, sehingga memerlukan nutrisi tertentu pula (Rao, 1994).
Susunan kimia sel mikroba relatif tetap, baik unsur kimia maupun senyawa yang terkandung di dalam sel. Dari hasil analisis kimia diketahui bahwa penyusun utama sel adalah unsur kimia C, H, O, N, dan P, yang jumlahnya + 95 % dari berat kering sel, sedangkan sisanya tersusun dari unsur-unsur lain. Apabila dilihat susunan senyawanya, maka air merupakan bagian terbesar dari sel, sebanyak 80-90 %, dan bagian lain sebanyak 10-20 % terdiri dari protoplasma, dinding sel, lipida untuk cadangan makanan, polisakarida, polifosfat, dan senyawa lain (Lunggani, 2007).
Tabel 1. Persentasi berat kering unsur-unsur
Susunan unsur-unsur penyusun sel bakteri E. coli
Seperti halnya makhluk hidup lainnya, mikroba memerlukan energi untuk kelangsungan hidupnya. Energi diperlukan oleh mikroba untuk berbagai kegiatan, yaitu (Rao, 1994) :
1. Mempertahankan kehidupan sel.
2. Pertumbuhan dan perkembangbiakan sel.
3. Pergerakan pada mikroba yang bersifat motil (dapat bergerak).
Setiap unsur nutrisi mempunyai peran tersendiri dalam fisiologi sel. Unsur tersebut diberikan ke dalam medium sebagai kation garam anorganik yang jumlahnya berbeda-beda tergantung pada keperluannya. Beberapa golongan mikroba misalnya diatomae dan alga tertentu memerlukan silika (Si) yang biasanya diberikan dalam bentuk silikat untuk menyusun dinding sel. Fungsi dan kebutuhan natrium (Na) untuk beberapa jasad belum diketahui jumlahnya. Natrium dalam kadar yang agak tinggi diperlukan oleh bakteri tertentu yang hidup di laut, algae hijau biru, dan bakteri fotosintetik. Natrium tersebut tidak dapat digantikan oleh kation monovalen yang lain (Rao, 1994).
Jasad hidup dapat menggunakan makanannya dalam bentuk padat maupun cair (larutan). Jasad yang dapat menggunakan makanan dalam bentuk padat tergolong tipe holozoik, sedangkan yang menggunakan makanan dalam bentuk cair tergolong tipe holofitik. Jasad holofitik dapat pula menggunakan makanan dalam bentuk padat, tetapi makanan tersebut harus dicernakan lebih dulu di luar sel dengan pertolongan enzim ekstraseluler. Pencernaan di luar sel ini dikenal sebagai extracorporeal digestion (Machmud, 2008).
Bahan makanan yang digunakan oleh jasad hidup dapat berfungsi sebagai sumber energi, bahan pembangun sel, dan sebagai aseptor atau donor elektron. Dalam garis besarnya bahan makanan dibagi menjadi tujuh golongan yaitu air, sumber energi, sumber karbon, sumber aseptor elektron, sumber mineral, faktor tumbuh, dan sumber nitrogen (Machmud, 2008).
1. Air
Air merupakan komponen utama sel mikroba dan medium. Funsi air adalah sebagai sumber oksigen untuk bahan organik sel pada respirasi. Selain itu air berfungsi sebagai pelarut dan alat pengangkut dalam metabolisme.
2. Sumber energi
Ada beberapa sumber energi untuk mikroba yaitu senyawa organik atau anorganik yang dapat dioksidasi dan cahaya terutama cahaya matahari.
3. Sumber karbon
Sumber karbon untuk mikroba dapat berbentuk senyawa organik maupun anorganik. Senyawa organik meliputi karbohidrat, lemak, protein, asam amino, asam organik, garam asam organik, polialkohol, dan sebagainya. Senyawa anorganik misalnya karbonat dan gas CO2 yang merupakan sumber karbon utama terutama untuk tumbuhan tingkat tinggi.
4. Sumber aseptor elektron
Proses oksidasi biologi merupakan proses pengambilan dan pemindahan elektron dari substrat. Karena elektron dalam sel tidak berada dalam bentuk bebas, maka harus ada suatu zat yang dapat menangkap elektron tersebut. Penangkap elektron ini disebut aseptor elektron. Aseptor elektron ialah agensia pengoksidasi. Pada mikrobia yang dapat berfungsi sebagai aseptor elektron ialah O2, senyawa organik, NO3-, NO2-, N2O, SO4-, CO2, dan Fe3+.
5. Sumber mineral
Mineral merupakan bagian dari sel. Unsur penyusun utama sel ialah C, O, N, H, dan P. unsur mineral lainnya yang diperlukan sel ialah K, Ca, Mg, Na, S, Cl. Unsur mineral yang digunakan dalam jumlah sangat sedikit ialah Fe, Mn, Co, Cu, Bo, Zn, Mo, Al, Ni, Va, Sc, Si, Tu, dan sebagainya yang tidak diperlukan jasad. Unsur yang digunakan dalam jumlah besar disebut unsur makro, dalam jumlah sedang unsur oligo, dan dalam jumlah sangat sedikit unsur mikro. Unsur mikro sering terdapat sebagai ikutan (impurities) pada garam unsur makro, dan dapat masuk ke dalam medium lewat kontaminasi gelas tempatnya atau lewat partikel debu. Selain berfungsi sebagai penyusun sel, unsur mineral juga berfungsi untuk mengatur tekanan osmose, kadar ion H+(kemasaman, pH), dan potensial oksidasi-reduksi (redox potential) medium.
6. Faktor tumbuh
Faktor tumbuh ialah senyawa organik yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan (sebagai prekursor, atau penyusun bahan sel) dan senyawa ini tidak dapat disintesis dari sumber karbon yang sederhana. Faktor tumbuh sering juga disebut zat tumbuh dan hanya diperlukan dalam jumlah sangat sedikit. Berdasarkan struktur dan fungsinya dalam metabolisme, faktor tumbuh digolongkan menjadi asam amino, sebagai penyusun protein; base purin dan pirimidin, sebagai penyusun asam nukleat; dan vitamin sebagai gugus prostetis atau bagian aktif dari enzim.
7. Sumber nitrogen
Mikroba dapat menggunakan nitrogen dalam bentuk amonium, nitrat, asam amino, protein, dan sebagainya. Jenis senyawa nitrogen yang digunakan tergantung pada jenis jasadnya. Beberapa mikroba dapat menggunakan nitrogen dalam bentuk gas N2 (zat lemas) udara. Mikroba ini disebut mikrobia penambat nitrogen.
Berdasarkan sumber energi yang digunakan, mikroba dapat dibedakan atas dua grup, yaitu (Winarno dan Faedianz, 1990):
1. Organisme fototrof, yaitu organisme yang menggunakan sinar matahari untuk menghasilkan energi. Berdasarkan sumber karbon yang digunakan, organisme fototrof dibedakan lagi sebagai berikut:
Tabel 2. Perbedaan organisme fotoautotrof dan fotoheterotrof
Organisme Sumber Sumber Contoh
Fotoototrof
Fotoheterotrof Matahari
Matahari CO2
Senyawa Organik Tanaman, ganggang
Tanaman, ganggang biru-hijau
2. Organisme kimotrof, yaitu organisme yang menggunakan senyawa kimia untuk menghasilkan energi. Berdasarkan sumber karbon yang digunakan, organisme kimotrof dapat dibedakan lagi sebagai berikut:
Tabel 3. Perbedaan organisme kimotrof dan kimoheterotrof
Organisme Sumber Sumber Contoh
Kimoototrof
Kimoheterotrof Matahari
Senyawa kimia CO2
Senyawa organik Bakteri litotrof
Hewan, protozoa, fungi, bakteri
Organisme fotoheterotrof mungkin bersifat obligat atau fakultatif, tergantung pada persediaan sumber energi. Organisme fotoheterotrof obligat hidupnya sangat tergantung pada sumber energi dari sinar matahari, sedangkan yang bersifat fakultatif, jika sumbr energi dari matahari sangat berkurang, misalnya dalam keadaan gelap, organisme tersebut dapat berubah sifatnya menjadi kimoheterotrof. Demikian pula organisme kimoototrof, ada yang bersifat obligat atau fakultatif. Organisme kimoototrof obligat hidupnya sangat tergantung pada adanya sumber CO2, sedangkan yang bersifat fakultatif jika sumber CO2 sangat kurang, organisme tersebut akan berubah sifatnya menjadi kimoheterotrof (Winarno dan Faedianz, 1990).
Semua reaksi yang menghasilkan energi pad bakteri yang bersifat kimotrofik merupakan reaksi oksidasi-reduksi, yaitu pemindahan atom hidrogen atau elektron dari satu senyawa ke senyawa lainnya. Untuk dapat digunakan sebagai sumber energi, harus terjadi reaksi oksidasi reduksi dimana diperlukan persediaan suatu oksigen dan reduktan dalam jumlah berlebih. Oksidasi adalah pelepasan elektron dari suatu atom atu molekul yang bertindak sebagai donor hidrogen yang disebut reduktan, sedangkan reduksi adalah penambahan elektron pada suatu aseptor hidrogen yang disebut oksidan (Winarno dan Faedianz, 2007).
Oksidan : AH2 A + 2H
Reduksi : B + 2H BH2
Hasil kedua reaksi tersebut menunjukkan oksidasi senyawa AH2 oleh senyawa B sebagai berikut (Winarno dan Faedianz, 1990):
AH2 + B BH2 + A
Dalam hal ini AH2 adalah suatu reduktan, sedangkan senyawa B adalah oksidan. Senyawa yang dapat berfungsi sebagai oksidan atau reduktan mungkin berupa senyawa organik atau anorganik. Berdasarkan jenis senyawa yang digunakan sebagai oksidan atau reduktan, maka reaksi oksidasi yang menghasilkan energi pada mikroba dapat dibedakan sebagai berikut (Winarno dan Faedianz, 1990):
Tabel 4. Perbedaan organisme litotrofik dan organotrofik
Donor elektron Anorganik Akseptor elektron rganik
Anorganik (litotrofik) Respirasi Tidak terjadi
Organik (organotrofik) Respirasi Fermentasi
Organisme litotrof atau kimolitotrof, termasuk di antaranya beberapa jenis bakteri, adalah organisme yang memperoleh energi melalui oksidasi suatu reduktan anorganik, misalnya sulfur atau amonia. Organisme litotrof pada umumnya bersifat ototrof, yaitu mendapatkan sumber karbon dari CO2. Organisme yang tergolong organotrof mengoksidasi donor hidrogen yang berupa senyawa organik contohnya pada hewan, fungi dan kebanyakan bakteri. Jadi istilah litotrofik dan organotrofik menunjukkan perbedaan dalam donor elektronnya (Fardianz, 1992).
Cara Mikroba Memperoleh Energi
Selama ini telah dikenal beberapa macam cara metabolisme oleh mikroba untuk mendapatkan energi, misalnya dengan cara respirasi aerobik atau anaerobik, fotosintesa dan fermentasi (Fardianz, 1992).
1. Respirasi
Sel-sel yang melakukan respirasi pada umumnya mengandung enzim oksidase dan oleh karena itu mempunyai kecenderungan untuk menggunakan oksigen (O2) sebagai aseptor elektron terakhir. Molekul O2 merupakan substrat yang baik untuk direduksi pada muatan yang sangat positif (E0 = + 0,82 volt) dan tersedia dalam jumlah yang banyak di udara. Dengan demikian sel yang menjalankan respirasi dapat lebih efisien mengubah substrat menjadi energi bila dibandingkan dengan sel-sel yang melakukan fermentasi (Fardianz, 1992).
Elektron – elektron di dalam sistem respirasi ini berasal dari DPNH+H+ , yaitu hasil oksidasi dari substrat. Pasangan elektron ini dalam bentuk DPNH+H+ diubah melalui flavoprotein atau FAD dan citochroma menjadi energi dalam bentuk ATP (adenosin-ribosa-triphosphat) sebagai berikut (Fardianz, 1992):
Gambar 1. flavoprotein atau FAD dan citochroma menjadi energi dalam bentuk ATP
Pada umumnya respirasi selalu menggunakan oksigen (respirasi aerobik), tetapi beberapa sel dapat pula melakukan respirasi tanpa menggunakan oksigen dari luar tetapi menggunakan bahan anorganik yang ada di dalam substrat. Bahan-bahan anorganik ini bertindak sebagai aseptor elektron terakhir. Respirasi semacam ini disebut respirasi anaerobik seperti terlihat pada skema berikut ini (Fardianz, 1992):
Senyawa-senyawa anorganik yang dapat digunakan sebagai aseptor elektron adalah nitrat, sulfat atau CO2. Respirasi dibagi menjadi dua yaitu (Fardianz, 1992):
1. Respirasi Aerobik
Pada respirasi aerobik, oksigen bertindak sebagai akseptor hidrogen, dan reaksi oksigen dengan hydrogen akan membentuk air. Dengan kata lain, respirasi aerobic adalah reaksi oksidasi substrat menjadi CO2 dan air, membentuk energi dalam bentuk ATP. Transpor atom hydrogen dari substrat ke oksigen berlangsung melalui sitokroma. Pigmen – pigmen tersebut melakukan reaksi oksidasi – oksidasi, dimana sitokroma yang terakhir akan dioksidasi oleh oksigen membentuk air. Energi yang dikeluarkan dari reaksi hidrogen dan oksigen digunakan untuk membentuk ATP. Untuk setiap pasang atom Hidrogen yang teroksidasi akan terbentuk 3 molekul ATP. Berikut ini adalah skema proses respirasi pada organisme organotrof :
substrat reaksi – reaksi
pendahuluan
2. Respirasi Anaerobik
Beberapa bakteri tidak menggunakan oksigen sebagai oksidan, tetapi menggunakan senyawa anorganik seperti sulfat dan nitrat. Proses demikian disebut respirasi anaerobic. Sebagai contoh, bakteri dari jenis Desulfovibrio melakukan oksidasi senyawa organic menggunakan sulfat sebagai oksidan, dimana sulfat akan mengalami reduksi menjadi sulfide. Bakteri dari jenis tersebut tidak dapat menggunakan oksigen sebagai aseptor electron.
2. Fermentasi
Fermentasi merupakan teknologi yang memanfaatkan aktivitas mikroba secara efektif yang bersifat menguntungkan manusia. Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat pemecahan komponen-komponen bahan tersebut. Jika cara pengawetan yang lain ditujukan untuk mengurangi jumlah mikroba, maka proses fermentasi adalah sebaliknya yaitu memperbanyak jumlah mikroba dan menggiatkan metabolismenya. Tetapi jenis mikroba yang digunakan sangat terbatas yaitu disesuaikan dengan hasil akhir yang dikehendaki (Winarno et al., 1980). Hasil fermentasi tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. Mikroba yang bersifat fermentatif dapat mengubah karbohidrat dan turunan-turunannya menjadi alkohol, asam CO2. Mikroba proteolik dapat memecah protein dan komponen-komponen nitrogen lainnya sehingga menghasilkan bau busuk yang tidak diinginkan sedangkan mikroba lipolitik akan memecah atau menghidrolisis lemak, fosfolipida dan turunannya dengan menghasilkan bau tengik (Winarno dan Fardianz, 1990).
Fermentasi adalah suatu reaksi oksidasi-reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi, dimana sebagai donor dan aseptor elektron digunakan senyawa organik. Senyawa organik yang biasanya digunakan adalah karbohidrat dalam bentuk glukosa. Senyawa tersebut akan diubah oleh reaksi reduksi dengan katalis enzim menjadi sutu bentuk lain misalnya aldehida, dan dapat dioksidasi menjadi asam (Winarno dan Fardianz, 1990).
Sel-sel yang melakukan fermentasi mempunyai enzim-enzim yang akan mengubah hasil dari reaksi oksidasi, dalam hal ini adalah asam, menjadi suatu senyawa yang mempunyai muatan lebih positif sehingga dapat menangkap elektron atau bertindak sebagai aseptor elektron terakhir dan menghasilkan energi. Secara lebih jelas reaksi tersebut dapat diterangkan melalui skema sebagai berikut (Fardianz, 1992) :
Di dalam proses fermentasi, kapasitas mikroba untuk mengoksidasi tergantung dari jumlah aseptor elektron terakhir yang dapat dipakai. Secara lebih singkat skema proses fermentasi adalah sebagai berikut (Fardianz, 1992) :
3. Metabolisme Litotropik atau Autotropik
Bila pada respirasi anaerobik senyawa-senyawa anorganik dapat digunakan sebagai aseptor elektron, maka beberapa bakteri tertentu dapat menggunakan senyawa-senyawa anorganik sebagai donor elektron. Metabolisme semacam ini disebut metabolisme litotropik atau autotropik, sedangkan metabolisme yang menggunakan senyawa organik sebagai donor elektron disebut metabolisme organotropik (Winarno dan Faedianz, 1990).
Senyawa-senyawa anorganik yang dapat digunakan oleh bakteri litotropik sebagai donor elektron misalnya senyawa nitrogen tereduksi (nitrit, amonia). Bakteri-bakteri ini biasanya menggunakan CO2 sebagai sumber utama dari karbon (Winarno dan Faedianz, 1990).
Bakteri hidrogen akan mengoksidasi molekul hidrogen sebagai berikut (Djide dkk. 2007) :
2H2 + O2 2H2O
“Nitrifying bacteria” terdiri dari dua jenis yaitu Nitrosomonas sp. yang mengoksidasi amonia menjadi nitrit, dan Nitrobacter sp. yang mengoksidasi nitrit menjadi nitrat sebagai berikut (Djide dkk. 2007) :
Bakteri sulfur yang tidak berwarna misalnya Thiobacillus sp. dapat mengoksidasi beberapa senyawa yang mengandung sulfur misalnya (Djide dkk. 2007) :
Bakteri sulfur yang lainnya misalnya Beggiatoa sp. dan Thiothrix sp. dapat menyimpan sulfur di dalam selnya, sebagai hasil oksidasi dari H2S. Jika persediaan H2S habis maka sulfur persediaan tersebut akan digunakan untuk metabolisme dan dioksidasi menjadi sulfat (Djide dkk. 2007).
Bakteri besi termasuk Ferrobacillus sp. dapat mengoksidasi besi ferro menjadi ferri sebagai berikut (Djide dkk. 2007) :
4Fe2+ + 4H+ +O2 4Fe3+ + 2H2O
B. KETERATURAN DAN PEMECAHAN KARBOHIDRAT
Pada umumnya pemecahan karbohidrat berlangsung melalui suatu degradasi dari gula monosakarida yaitu glukosa menjadi asam piruvat. Pemecahan glukosa menjadi asam piruvat dapat melalui dua cara yaitu sistem heksosa diphosphat (HDP) dan heksosa monophosphat (HMP) (Fitria, 2007).
Pada umumnya mikroba hanya dapat menjalankan salah satu sistem, akan tetapi beberapa mikroba tertentu dapat melakukan kedua sistem pemecahan gula tersebut. Hal ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi mikroba yaitu dengan cara melihat hasil-hasil dari pemecahan glukosa (Fitria, 2007).
Secara singkat rumus glukosa dapat dituliskan sebagai berikut (Fitria, 2007):
Heksosa Diphosphat (HDP)
Tahap pertama dari pemecahan glukosa secara sistem heksosa diphosphat (HDP) adalah phosphorilasi glukosa, yaitu pemindahan ikatan phosphat yang mempunyai energi tinggi dari ATP kedalam glukosa pada atom C nomor enam. Reaksi ini berlangsung dengan bantuan enzim kinase dan katalisator Mg2+ (Fitria, 2007).
Tahap kedua terjadi reaksi isomerisasi dari glukosa-6-phosphat (G-6-P), yang menghasilkan 2-keto-glukosa-6-phosphat yaitu fruktosa-6-phosphat (F-6-P), dengan pertolongan enzim isomerase dan katalisator Mg2+. Reaksi ini adalah suatu reaksi bolak-balik (Fitria, 2007).
Tahap ketiga adalah pemindahan phosphat baru dari ATP ke F-6-P pada atom C nomor 1, dengan pertolongan enzim kinase. Hasilnya adalah fruktosa-1, 6-diphosphat (F-1, 6-diP), dan reaksinya berjalan satu arah (Fitria, 2007).
Tahap keempat adalah pecahnya F-1, 6-diP pada ikatan antara atom Cnomor tiga dan nomor empat menjadi bentuk aldol, yaitu dengan pertolongan enzim aldolase. Reaksi tersebut berjalan bolak-balik dengan hasil reaksinya adalah dehidroksi-aseton-phosphat (DHAP) dan gliseraldehida-3-phosphat (G-3-P) (Fitria, 2007).
Agar lebih jelas cara pemecahan tersebut dapat diterangkan sebagai berikut (Fitria, 2007):
Tahap kelima terjadi oksidasi dari aldehida dengan pertolongan enzim dehidrogenase, dan sebagai akseptor elektron adalah DPN. Reaksi ini adalah reaksi bolak-balik dan menghasilkan asam 1,3-diphospho-gliserat (G-1,3-diP). Energi yang dihasilkan dari oksidasi ini digunakan untuk membentuk ikatan kimia yang mempunyai energi tinggi (Fitria, 2007).
Tahap keenam terjadi perpindahan ikatan kimia yang mempunyai energi tinggi dari atom C nomor satu ke ADP dengan menghasilkan ATP dan asam 3-phospho-gliserat (asam 3-P-gliserat), dengan pertolongan enzim kinase. Reaksi tersebut adalah reaksi bolak-balik (Fitria, 2007).
Tahap ketujuh terjadi setelah isomerisasi phosphat pada asam gliserat dari atom C nomor tiga ke atom C nomor dua, dengan pertolongan enzim isomerase. Reaksi ini disertai dengan dehidrogenasi yang menghasilkan H2O dan berjalan bolak-balik (Fitria, 2007).
Pelepasan H2O pada tahap ketujuh akan dapat meninggikan energi dari ikatan phodphat, sehingga pada tahap kedelapan ikatan phosphat akan berpindah ke ADP untuk membentuk ATP dengan pertolongan enzim kinase. Hasilnya adalah asam piruvat, dan reaksi ini berjalan bolak-balik (Fitria, 2007).
Skema Heksosa Diphosphat (HDP)
Melalui sistem HDP, setiap molekul glukosa dapat menghasilkan dua molekul triose phosphat. Di dalam reaksi tersebut diperlukan dua molekul ATP. Masing-masing triose phosphat yang terbentuk kemudian dapat menghasilkan satu molekul asam piruvat, dua molekul ATP dan sepasang elektron yaitu DPNH+H+. Jadi secara singkat reaksi pemecahan glukosa tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Fitria, 2007):
Didalam reaksi tersebut terlihat bahwa pemecahan sebuah molekul glukosa menjadi dua molekul asam piruvat memerlukan dua molekul ATP dan menghasilkan empat molekul ATP serta dua pasang elektron (2 DPNH+H+), sehingga hasil akhirnya adalah dua molekul ATP dan dua pasang elektron (Fitria, 2007).
Asam piruvat yang merupakan hasil pemecahan glukosa melalui sistem HDP adalah senyawa yang penting karena melalui senyawa ini dapat dihasilkan banyak sekali jenis senyawa-senyawa lainnya misalnya asam laktat, alkohol, asam formiat, asam butirat, asam asetat, asam propionat dan sebagainya (Fitria, 2007).
Didalam reaksi perubahan asam piruvat menjadi senyawa-senyawa tersebut biasanya terjadi proses oksidasi-reduksi dengan menggunakan DPNH + H+ sebagai donor elektron (Fitria, 2007).
Heksosa Monophosphat (HMP)
Hanya sebagian kecil atau beberapa jenis bakteri tertentu saja yang dapat melakukan pemecahan glukosa dengan cara heksosa monophosphat (HMP). Berbeda dengan sistem HDP, maka sistem HMP ini tidak menghasilkan senyawa pertengahan (intermediate) berupa heksosa diphosphat (fruktosa-1,6-diphosphat). Pada sistem HMP setelah glukosa mengalami phosphorilasi pada atom C nomor enam dengan pertolongan enzim kinase dan ATP, kemudian dioksidasi menjadi asam 6-phospho-glukonat (6-PG) dengan pertolongan enzim dehidrogenase sebagai berikut (Fitria, 2007) :
Asam 6-phospho glukonat kemudian mengalami dekarboksilasi dan oksidasi dengan pertolongan enzim dekarboksilase sehingga menghasilkan CO2 dan suatu pentosa yaitu D-ribulose-5-phosphat (Ru-5-P), seperti terlihat pada reaksi dibawah (Fitria, 2007) :
Beberapa jenis mikroba yang menjalankan fermentasi dapat mmecah gula pentosa phosphat (C5) menjadi senyawa dua karbon (C2) dan triose phosphat sebagai berikut (Fitria, 2007) :
Triose phosphat (G-3-P) kemudian dioksidasi sehinga menjadi asam piruvat, sedangkan elektron-elektron yang dihasilkan dari oksidasi ini digunakan untuk mereduksi asam piruvat menjadi asam laktat, seperti terlihat pada reaksi dibawah ini (Fitria, 2007) :
Senyawa dua karbon yang terbentuk (C-C) direduksi untuk menampung elektron-elektron yang berasal dari hasil oksidasi G-6-P menjadi 6-PG dan dari 6-PG menjadi Ru-5-P, dengan menghasilkan alkohol seperti terlihat pada reaksi dibawah ini (Fitria, 2007) :
Secara singkat hasil fermentasi glukosa menurut sistem HMP dapat dituliskan sebagai berikut (Fitria, 2007) :
Ternyata beberapa jenis bakteri tertentu selain menggunakan sistem HDP juga dapat menggunakan sistem fermentasi HMP jika suatu ketika mengalami kekurangan enzim-enzim yang iperlukan dalam pemecahan glukosa secara HDP. Contoh dari bakteri tersebut misalnya Leuconostoc sp (Fitria, 2007).
Tahap-tahap pemecahan glukosa menjadi asam laktat menurut sistem HMP dapat digambarkan dalam suatu diagram seperti dibawah ini (Fitria, 2007) :
Skema Heksosa Monophosphat (HMP)
Pemecahan Gula Secara “Entner doudoroff”
Cara lain untuk memecah gula adalah secara “Entner Doudoroff” yang dikenal sebagai “Entner Doudoroff Split”. Cara ini ditemukan pada beberapa bakteri tertentu terutama pada bakteri golongan pseudomonad (Fitria, 2007).
Dengan cara “entner Doudoroff” ini glukosa mula-mula mengalami phosphorilasi menjadi glukosa-6-phosphat (G-6-P) dan kemudian dioksidasi menjadi 6-phospho glukonat (6-PG). Selanjutnya 6-PG mengalami dehidrasi (-H2O) dan dipecah menjadi asam piruvat dan triose phosphat, seperti terlihat pada reaksi di bawah ini (Fitria, 2007) :
Mikroba yang melakukan fermentasi dengan cara ini akan mengoksidasi triose phosphat dan mengubahnya menjadi asam piruvat. Beberapa asam piruvat direduksi menjadi asam laktat dan sisanya akan mengalami dekarboksilasi menjadi CO2 dan asetaldehida. Kemudian asetaldehida direduksi menjadi etil alkohol, seperti terlihat pada gambar dibawah ini (Fitria, 2007) :
C. Metabolit Primer dan Sekunder
1. Metabolit Primer
Metabolit primer adalah senyawa yang berupa produk akhir dalam metabolisme dengan bobot molekul yang kecil dan digunakan sebagai bahan dasar pembangun makromolekul atau dikonversikan menjadi koenzim. Selain itu termasuk senyawa-senyawa intermediet pada jalur Embden-Meyerhof, Pentosa Phosphate,siklus asam trikarboksilat (siklus Krebs). Contohnya: Asam-asam organik seperti asam sitrat, asam fumarat, asam amino, dan lain-lain (Fardiaz, 1992).
Senyawa metabolisme primer merupakan senyawa yang dihasilkan oleh makhluk hidup dan bersifat essensial bagi proses metabolisme sel tersebut. Senyawa ini dikelompokkan menjadi 4 kelompok makromolekul yaitu karbohidrat, protein, lipid,dan asam nukleat (Fardiaz, 1992).
A. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan kelompok makromolekul yang tersusun atas atom C,H,dan O. kelompok ini sering disebut juga gula-gula hidrokarbon.
Berdasarkan jumlah monomer penusunnya, karbohidrat terbagi atas:
1. Monosakarida yang tersusun atas 1 monomer,
2. Disakarida yang tersusun atas 2 monomer,
3. Oligosakarida yang tersusun atas 3-10, dan
4. Polisakarida yang tersusun atas lebih dari 10 monomer.
B. Protein
Protein merupakan suatu senyawa makromolekul yang tersusun atas atom C, H, O, N, dan S. Berdasarkan fungsinya protein dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:
1. Protein fungsional yaitu kelompok Enzim, dan
2. Protein Struktural yaitu protein yang menyusun bagian struktural dari dalam sel seperti protein integral dan protein perifer yang menyusun bagian membran sel.
C. Lipid
Lemak merupakan golongan senyawa metabolit primer yang bersifat hidrofobik. Senyawa ini dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu:
1. Lemak yang tersusun atas asam lemak dan gliserol,
2. Sterol yang merupakan penyusun membran sel makhluk hidup, dan
3. Kolesterol
D. Nukleat
Asam nukleat merupakan komponen yang terdiri atas atom C, H, O, dan P. Biasanya asam nukleat terdiri atas 3 bagian yaitu gula ribosa, basa nitrogen, dan fosfat.
Berdasarkan fungsinya, asam nukleat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu :
1. Sebagai komponen materi genetik, contohnya : DNA, RNA
2. Sebagai energi kimia, contohnya: ATP, GTP, UTP
3. Sebagai kofaktor, contohnya : NAD, FAD, Koenzim A
4. Sebagai komponen regulator, contohnya : cAMP, cGMP
2. Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang tidak esensial bagi pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau berbeda-beda antara spesies yang satu dan lainnya. Setiap organisme biasanya menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang berbeda-beda, bahkan mungkin satu jenis senyawa metabolit sekunder hanya ditemukan pada satu spesies dalam suatu kingdom. Senyawa ini juga tidak selalu dihasilkan, tetapi hanya pada saat dibutuhkan saja atau pada fase-fase tertentu. Fungsi metabolit sekunder adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, misalnya untuk mengatasi hama dan penyakit, menarik polinator, dan sebagai molekul sinyal (Fardiaz, 1992).
Senyawa metabolit sekunder diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama, yaitu (Fardiaz, 1992):
• Terpenoid (Sebagian besar senyawa terpenoid mengandung karbon dan hidrogen serta disintesis melalui jalur metabolisme asam mevalonat). Contohnya monoterpena, seskuiterepena, diterpena, triterpena, dan polimer terpena.
• Fenolik (Senyawa ini terbuat dari gula sederhana dan memiliki cincin benzena, hidrogen, dan oksigen dalam struktur kimianya). Contohnya asam fenolat, kumarina, lignin, flavonoid, dan tanin.
• Senyawa yang mengandung nitrogen. Contohnya alkaloid dan glukosinolat.
Sebagian besar tanaman penghasil senyawa metabolit sekunder memanfaatkan senyawa tersebut untuk mempertahankan diri dan berkompetisi dengan makhluk hidup lain di sekitarnya. Tanaman dapat menghasilkan metabolit sekunder (seperti: quinon, flavonoid, tanin, dll.) yang membuat tanaman lain tidak dapat tumbuh di sekitarnya. Hal ini disebut sebagai alelopati. Berbagai senyawa metabolit sekunder telah digunakan sebagai obat atau model untuk membuat obat baru, contohnya adalah aspirin yang dibuat berdasarkan asam salisilat yang secara alami terdapat pada tumbuhan tertentu. Manfaat lain dari metabolit sekunder adalah sebagai pestisida dan insektisida, contohnya adalah rotenon dan rotenoid. Beberapa metabolit sekunder lainnya yang telah digunakan dalam memproduksi sabun, parfum, minyak herbal, pewarna, permen karet, dan plastik alami adalah resin, antosianin, tanin, saponin, dan minyak volatil (Fardiaz, 1992).
Beberapa contoh dari metabolit sekunder adalah (Fardiaz, 1992):
Kelas Contoh Senyawa Contoh Sumber Efek dan kegunaan
SENYAWA MENGANDUNG NITROGEN
Alkaloid Nikotin, kokain, teobromin Tembakau, coklat Mempengaruhi neurotransmisi dan menghambat kerja enzim
TERPENOID
Monoterpena Mentol, linalool Tumbuhan mint dan banyak tumbuhan lainnya Mempengaruhi neurotransmisi, menghambat transpor ion, anestetik
Diterpen Gossypol Kapas Menghambat fosforilasi, toksik
Triterpena, glikosida kardiak (jantung) Digitogenin Digitalis (Foxglove digitalis sp.) Stimulasi otot jantung, memengaruhi transpor ion
Sterol spinasterol Bayam Mempengaruhi kerja hormon hewan
Asam fenolat Kafeat, klorogenat Semua tanaman Menyebabkan kerusakan oksidatif, timbulnya warna coklat pada buah dan wine.
Tannins gallotanin, tanin terkondensasi oak, kacang-kacangan Mengikat protein, enzim, menghambat digesti, antioksidan.
Lignin Lignin Semua tanaman darat Struktur, serat
Metabolit sekunder, hasil matebolisme yang tidak digunakan untuk proses pertumbuhan, tetapi untuk pertahanan diri, contoh: protein, asam lemak, karbohidrat, senyawa antimikroba, dll. Pada jalur biosintesis metabolit sekunder dapat terdiri dari berbagai jalur, mulai dari yang sederhana sampai dengan jalur yang rumit. Umumnya berasal atau berawal dari metabolit primer (asetil CoA, asam mevalonat, asam sikimat, dll). Metabolit sekunder ini unik untuk setiap mikroorganisme, bergantung pada lingkungan habitatnya. Ada beberapa contoh metabolit sekunder pada mikroorganisme yaitu: antibiotic, pigmen, vitamin, dan lain-lain (Fardiaz, 1992).
Beberapa contoh metabolit sekunder mikroba dan manfaatnya (Fardiaz, 1992) :
1. Antibiotik: penisilin (Penicillium chrysogeum), sefalosporin (Cephalosporium acremonium).
2. Imunosupresan: silosporin (Trichoderma polysoprum).
3. Bidang pertanian: growth promoter Zearalonone (Gibberella zeae).
4. Enzim: amylase (Asoegillus niger), lipase (Pseudomonas aeruginosa).
5. Pigmen: ankaflavin (Monascus purpureus).
Metabolit sekunder mikroba yang merupakan senyawa toksik (Fardiaz, 1992):
1. Toksik dari fungi mikotoksin, contoh: aflatoksin (Aspergillus flavus), sitrinin (Penicillium citrinum).
2. Toksik dari bakteri bakterotoksin, contoh: endotoksin.
3. Dapat dimanfaatkan untuk merancang obat berdasarkan struktur molekul toksin.
Penicillium di atas selai menghasilkan patulin, senyawa yang paling awal dirancang untuk menjadi antibiotik, tetapi ternyata toksik untuk mamalia (Fardiaz, 1992).
Aflotoksin diproduksi dari anggota Aspergillus parasiticus yang dihasilkan melalui jalur poliketida. Jalur ini kurang lebih mempunyai 20 langkah, dan hasil akhir menghasilkan suatu keanekaragaman dari campuran ( bisfuranokumarin) yang dapat dikonversi satu ke yang lain (Fardiaz, 1992).
Pada umumnya metabolit sekunder mikroorganisme merupakan makromolekul yang disebut biomakromolekul. Mikroorganisme yang dimanfaatkan atau dimanipulasi agar menghasilkan produk yang bermanfaat dan dapat diproduksi dalam skala industri disebut mikroba industri (Fardiaz, 1992) .
Mikroorganisme atau Mikroba Industri (Fardiaz, 1992) :
1. Prokariot (Eubakteri, Archaebakteri)
2. Eukariot (Fungi: Kapang, Ragi, Jamur, Algae, Protozoa)
3. Pathogen dan non-patogen
4. Pemanfaatan dalam bioteknologi klasik dan bioteknolgi modern.
5. Streptomyces merupakan kelompok bakteri yang paling banyak dimanfaatkan metabolit sekundernya di bidang farmasi.
Kapang yang sering dimanfaatkan: Ascomycota, Deuteromycota. Proses pertumbuhan akan menghasilkan senyawa-senyawa yang dikenal sebagai metabolit. Senyawa metabolit ada dua jenis, yakni metabolit primer dan metabolit sekunder (Djide, 2007).
Metabolit primer adalah hasil metabolisme yang digunakan untuk kelangsungan hidup organisme misalnya untuk pertumbuhan. Contohnya, asam amino, asetil Ko-A, karbohidrat, asam nukleat, nukleotida, asam sitrat, dan lain-lain. Metabolit sekunder adalah hasil metabolisme yang tidak digunakan untuk proses pertumbuhan organisme tetapi untuk keperluan lain, misalnya untuk pertahanan diri. Untuk mikroorganisme contohnya, asam indol asetat, giberelin, penisilin, dan aflatoksin (Rao, 1994).
Beberapa ahli mengemukakan bahwa metabolit primer juga mencakup senyawa-senyawa intermediet yang terbentuk selama katabolisme melalui Embden-Meyerhof-Parnas, siklus pentose, dan siklus trikarboksilat. Dengan demikian, asam-asam organik seperti asam sitrat, asam fumarat, asam glukonat, asam laktat, dan sebagainya juga digolongkan sebagai metabolit primer (Djide, 2007).
Salah satu contoh produksi metabolit primer yaitu produksi asam amino melalui proses mikrobial antara lain adalah produksi L-asam glutamat, yang dikenal dengan nama monosodium glutamat (Djide, 2007).
Gambar 2. Biosintesis L-asam glutamat
Selama fase stasioner beberapa kultur mikroorganisme mensintesa persenyawaan-persenyawaan yang tidak dihasilkan selama fase tropofase dan tidak mempunyai fungsi yang nyata pada metabolisme mikroorganisme. Persenyawaan-persenyawaan ini digolongkan sebagai metabolit sekunder dan fase di mana metabolit tersebut dihasilkan dikenal dengan nama iodophasa (Djide dkk., 2007).
Aflatoksin adalah suatu metabolit sekunder yang terbentuk setelah fase logaritmik pertumbuhan kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (Lunggani, 2007).
Aflatoksin menarik perhatian mikrobiologiawan di Inggris pada tahun 1960 ketika tidak terbilang banyaknya kalkun dan bebek yang mati karena makanannya yang berupa bubur dedak kacang tanah terkontaminasi Aspergillus flavus. Manivestasi penyakit pada kalkun yang terinfeksi tampak karena adanya kerusakan hati dan ginjal hewan oleh aflatoksin. Sejak permulaan ledakan penyakit kalkun ini, telah banyak dilakukan penelitian mengenai aspek bikimiawi dan mikrobiologis aflatoksin dan sekarang telah diketahui bahwa aflatoksin terdiri dari beberapa unsur seperti aflatoksin yang secara kromatografis dapat dipisahkan yaitu B1, B2, G1, G2, M1, M2, dan seterusnya (Rao, 1994).
Aflatoksin diketahui memiliki sifat karsinogenik dan terutama mempengaruhi hewan-hewan seperti burung, ikan, lembu, domba, kambing, dan lain-lain. Manusia jarang terpengaruh oleh aflatoksin kecuali bila makan kacang tanah yang mengandung Aspergillus flavus dalam jumlah besar. Terdapat laporan yang menyiratkan terjadinya penimbunan sejumlah besar aflatoksin di dalam air susu ibu yang diberi makan makanan yang berasal dari biji-bijian yang berjamur (Rao, 1994).
Produksi aflatoksin secara eksperimental dengan menginokulasikan Aspergillus flavus telah dilaporkan dapat dilakukan terhadap beberapa komoditi pertanian seperti kopra, gandum, padi, biji kapas, gandum hitam, kacang tanah, jagung, dan semanggi. Tampaknya, terdapat tingkat kekhususan galur dalam produksi aflatoksin sedangkan isolate lainnya tidak. Survei pada biji-bijian domestik mengenai kadar aflatoksinnya berdasarkan standar biji resmi Amerika Serikat menunjukkan bahwa keberadaan racun ini pada sorgum dapat sangat rendah yaitu 3-6 µg/kg biji sedangkan pada jagung kadarnya mencapai 13-15 µg/kg. Tanaman akar seperti ketela pohon, kentang, kopi, dan tanaman pakan juga diketahui terkontaminasi dengan aflatoksin. Tingginya kelembaban pada masa panen dan metode pengeringan pascapanen yang kurang tepat merupakan faktor-faktor utama yang menyebabkan masuknya jamur-jamur Aspergillus penghasil aflatoksin ke dalam biji (Rao, 1994).
Juga terdapat beberapa laporan mengenai pengaruh aflatoksin terhadap tanaman tingkat tinggi. Pengaruh ini meliputi penghambatan perkecambahan biji, induksi defisiensi klorofil, kerusakan mitokondria, gangguan pada asam nukleat terutama RNA duta dan penghambatan macam-macam sistem enzim. Racun ini menghambat pertumbuhan Rhizobium in vitro dan perbintilan akar pada kecambah semanggi kelompok (Trifolium glomeratum) yang ditumbuhkan pada agar miring. Racun ini juga menginduksi pembentukan tonjolan serupa bintil pada sistem perakaran walaupun tanpa Rhizobium (Rao, 1994).
Asam indol asetat juga merupakan salah satu metabolit sekunder pada mikroorganisme. Banyak spesies bakteri dan jamur menghasilkan asam indol asetat (IAA) dalam jumlah sedikit, terutama apabila medium pertumbuhannya ditambah dengan triptofan penyusun IAA. Misalnya, Agrobacterium tumefaciens, Ustilago maydis, Synchytrium endobioticum, Gymnosporangium juniper-virginianae, Nectria galligena, Endophyllum sempervivi, Rhizobium sp., Rhizopus suinus, dan Pseudomonas fluorescens menghasilkan IAA dalam kultur murni atau dalam asosiasi dengan tanaman tinggi. Beberapa pengaruh morfogenik yang penting dari IAA terhadap pertumbuhan tanaman adalah pemanjangan batang dan pembentukan bintil yang merupakan reaksi inang terhadap auksin (Rao, 1994).
Salah satu contoh sederhana tentang interaksi antara IAA yang dihasilkan mikroba dengan tanaman inang adalah fenomena pembengkokan bulu akar, sebagaimana terlihat pada tanaman leguminosa yang telah terinokulasi Rhizobium. Salah satu contoh IAA yang dihasilkan oleh mikroba yang menyebabkan terjadinya hipertrofi sel-sel tanaman adalah jaringan bintil mahkota (the crown-gall tissue) yang disebabkan oleh Agrobacterium tumefaciens. Struktur-struktur serupa bintil yang terlihat pada berbagai tanaman dipandang terutama disebabkan oleh IAA yang bekerjasama dengan suatu prinsip penginduksi tumor (TIP) yang belum dikenal yang dihasilkan oleh mikroorganisme penyebab. Beberapa kasus hiperauksini (penimbunan auksin di dalam jaringan tubuh inang sebagai akibat interaksi antara mikroorganisme pathogen dan tanaman inang) telah dilaporkan dalam literatur. Contoh-contoh hiperauksini adalah penyakit layu tanaman yang disebabkan oleh Verticillium yang berakibat matinya tanaman karena kekurangan air dan penyakit karat pada jagung yang disebabkan oleh Ustilago maydis yang menghasilkan bintil-bintil membulat yang besar pada daun, batang, dan tangkai bunga. Walaupun demikian, perlu diingat bahwa IAA yang dihasilkan oleh mikroorganisme-mikroorganisme parasit ini bekerjasama dengan senyawa-senyawa lain yang dihasilkan dalam tubuh inang karena adanya interaksi antara inang dan parasit (Rao, 1994).
Hidup matinya suatu mikroorganisme di alam dipengaruhi oleh kemampuannya untuk mengadaptasi terhadap lingkungan yang selalu berubah. Organisme yang beradaptasi dengan cepat dan dapat menyesuaikan proses metabolismenya untuk tumbuh secara lebih efisien akan menang dalam kompetisi dengan mikroorganisme lainnya. Mikroorganisme mempunyai beberapa mekanisme untuk mengatur metabolismenya pada keadaan perubahan lingkungan. Proses adaptasi ada dua, yaitu adaptasi genotip dan adaptasi fenotip (Djide dkk., 2007).
Dalam suatu populasi organisme, selalu terdapat mutan alami dengan frekuensi satu dalam 107 set sampai dengan satu dalam 1010 sel. Jika mutan tersebut lebih dapat dengan lingkungan daripada induknya, mutan akan tumbuh lebih cepat dan menjadi dominan dalam populasi. Adaptasi yang disertai dengan perubahan dalam gen (genom) disebut adaptasi genotip. Dibutuhkan beberapa generasi sebelum mutan genotip tersebut menggantikan genotip orang tuanya sebagai organisme dominan dalam populasi (Djide dkk., 2007).
Dalam adaptasi fenotip, penyesuaian diri terhadap lingkungan lebih cepat, yaitu kurang dari satu waktu generasi. Adaptasi demikian tidak disebabkan oleh perubahan genom sel dan disebut adaptasi fenotip. Dalam adaptasi ini, organisme menyesuaikan diri dengan cara mengatur metabolisme sehingga dapat tumbuh lebih efisien dalam kondisi atau lingkungan yang baru. Cara adaptasi dengan fenotip ini dapat dilakukan dengan cara mengatur sintesis enzim dan mengatur aktivitas enzim (Djide dkk., 2007).
BAB III
PENUTUP
Layaknya makhluk hidup lain, setiap mikroorganisme membutuhkan energi untuk menjalankan kehidupannya. Energi diperoleh dari pemecahan karbohidrat, protein, lemak, asam nukleat, nukleotida, dan sebagainya. Namun, yang paling sering terjadi adalah pemecahan karbohidrat. Di mana pemecahan nutrien ini di samping akan menghasilkan energi, juga bertujuan untuk mensintesis metabolit primer dan sekunder.
Karena kemajuan teknologi, metabolit primer dan sekunder kini telah banyak ditemukan manfaatnya. Namun, tidak jarang pula bahkan lebih banyak metabolit mikroorganisme yang bersifat toksik. Untuk inilah maka diperlukan adanya penelitian untuk pengaturan metabolit mikroorganisme ini sehingga metabolit mikroorganisme tidak akan merugikan manusia lagi tetapi justru akan mendatangkan keuntungan yang besar.
DAFTAR PUSTAKA
Djide, N., Sartini, dan Kadir, S., 2007, Bioteknologi Farmasi, Unhas press, Makassar.
Fardiaz, S., 1992, Mikrobiologi Pangan 1, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fitria, B., 2007, Pertumbuhan Bakteri (online), (http://www.farmasiku.com, diakses pada tanggal 4 April 2011 pukul 09.15 WITA).
Lunggani, A.T., 2007, Kemampuan Bakteri Asam Laktat dalam Menghambat Pertumbuhan dan Produksi Aflatoksin B2 Aspergillus flavus, BIOMA (online), 9(II)45-51, (http:www.google.com, diakses pada tanggal 24 Maret 2011 pukul 13.02 WITA).
Machmud, M., 2008, Teknik Penyimpanan dan Pemeliharaan Mikroba (online), (http://www.indobiogen.co.id, diakses pada tanggal 31 Maret 2011 Pukul 15.00 WITA).
Rao, N.S.S., 1994, Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman Edisi Kedua, UI press, Jakarta.
Winarno dan Faedianz, 1990, Biofermentasi dn Biosisntesa Protein, Angkasa, Bandung.
0 Response to "AKTIVITAS METABOLISME MIKROBA"
Posting Komentar