BIOSENSOR ELEKTROKIMIA

MAKALAH
KIMIA INSTRUMEN




BIOSENSOR ELEKTROKIMIA





DISUSUN OLEH

SUHENDRA ISKANDAR (H311 08 266)

MEITY JOLANDA KAROMA (H311 08 262)

AHMAD FADEL (H311 08 270)
















JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2011
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI….…………………………………………………………………………...i
BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………………..1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………2
BAB III. PENUTUP……………………………………………………………………….5
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..6



BAB I
PENDAHULUAN

Biosensor elektrokimia sebagai bagian dari sensor kimia merupakan sensor kimia yang banyak diteliti dan dikembangkan oleh para ilmuwan. Biosensor elektrokimia sendiri didefinisikan sebagai suatu perangkat sensor yang menggabungkan senyawa biologi dengan suatu tranduser yang terbuat dari detektor elektrokimia. Dalam proses kerjanya, senyawa aktif biologi akan berinteraksi dengan molekul yang akan dideteksi yang disebut analit. Hasil interaksi yang berupa besaran fisik seperti panas, arus listrik, potensial listrik, atau lainnya akan dimonitor oleh transduser. Besaran tersebut kemudian diproses sebagai sinyal oleh signal processor elektronik sehingga diperoleh hasil yang dapat dimengerti.
Dewasa ini telah banyak dikembangkan biosensor elektrokimia karena keunggulannya yang dapat mendeteksi suatu analit secara spesifik layaknya sensor lain namun berharga relatif murah dibandingkan dengan sensor yang lain. Biosensor elektrokimia ini diharapkan di masa yang akan datang mampu menggantikan alat-alat sensor yang berharga sangat mahal.
Meninjau hal yang demikian, maka sangatlah perlu untuk mendalami dalam mempelajari biosensor elektrokimia. Berikut pada makalah ini akan dikaji mengenai prinsip kerja, bagian-bagian alat, dan manfaat pada kehidupan mengenai biosensor elektrokimia ini.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Biosensor adalah suatu alat untuk mendeteksi keberadaan analit dengan menggabungkan komponen biologis dan komponen fisika yang melibatkan reaksi-reaksi biokimia. Biosensor pada prinsipnya terdiri dari tiga bagian utama, yakni (Aviga, 2010):
1. Elemen biologi, seperti enzim, asam nukleat, atau antibodi yang sensitif terhadap keberadaan analit.
2. Transduser atau elemen detektor, seperti detektor elektrokimia, pizoelektrik, atau optik, yang mengubah sinyal yang dihasilkan dari interaksi analit dengan unsur biologis (panas, arus listrik, potensial listrik, dan lain-lain) ke sinyal lain yang dapat lebih mudah diukur dan dihitung (sinyal elektrik).
3. Signal processor elektronik, yang terutama bertanggung jawab untuk memperkuat sinyal untuk menampilkan hasil.
Biosensor elektrokimia adalah biosensor yang menggunakan detektor elektrokimia pada transdusernya. Biosensor elektrokimia biasanya didasarkan pada katalisis enzimatik dari suatu reaksi yang memproduksi elektron. Substrat sensor biasanya berisi empat elektroda yakni elektroda acuan, elektroda aktif, elektroda tenggelam, dan elektroda sumber ion. Analit target yang terlibat dalam reaksi yang terjadi pada permukaan elektroda aktif dan ion-ion yang diproduksi menciptakan sebuah potensial yang memberikan sinyal. Kita dapat mengukur arus di potensial yang tetap di mana kuat arus sebanding dengan konsentrasi analit. Biosensor elektrokimia adalah biosensor yang sangat sensitif untuk jenis-jenis analit tertentu tergantung pada komponen-komponen biosensornya dan oleh karena itu sering digunakan (Aviga, 2010).
Elemen biologi pada biosensor elektrokimia biasanya dalam bentuk terimmobilisasi. Immobilisasi sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara, yakni (Suryana, 2010) :
1. Adsorpsi fisik.
2. Dengan menggunakan membran atau perangkap matriks.
3. Dengan membuat ikatan kovalen antara biomolekul dengan transduser.
Transduser pada biosensor elektrokimia ada yang menghasilkan sinyal berupa arus listrik dan ada pula yang menghasilkan sinyal berupa potensial listrik. Salah satu contoh biosensor elektrokimia yang terkenal adalah biosensor glukosa darah untuk monitoring penyakit diabetes mellitus di mana sinyal yang dihasilkan di transdusernya berupa arus listrik. Prinsip kerjanya yakni FAD (sebuah komponen dari enzim) mengoksidasi analit berupa larutan glukosa sehingga analit tersebut melepaskan dua elektron di mana oksidatornya sendiri yakni FAD tereduksi menjadi FADH2. Selanjutnya, larutan glukosa tereduksi kembali oleh elektroda dengan menerima dua elektron dalam beberapa langkah. Teroksidasinya glukosa menimbulkan arus listrik di mana kuat arusnya bergantung pada konsentrasi larutan glukosa (analit). Dalam kasus ini, elektroda adalah transduser dan enzim adalah komponen aktif biologis (Aviga, 2010).
Biosensor elektrokimia tidak hanya mempunyai jenis yang menghasilkan sinyal berupa arus listrik di transdusernya. Ada pula biosensor elektrokimia yang menghasilkan sinyal berupa potensial listrik di transdusernya. Salah satu contohnya adalah biosensor elektrokimia ESI-H2PO4- tipe tabung untuk deteksi anion H2PO4-. Berbeda dengan biosensor elektrokimia yang menghasilkan sinyal di transdusernya berupa arus listrik, biosensor elektrokimia yang menghasilkan sinyal di transdusernya berupa potensial listrik hanya terdiri dari dua elektroda yakni elektroda pembanding dan elektroda indikator. Ada dua jenis elektroda indikator, yaitu elektroda indikator logam dan elektroda indikator membran atau elektroda selektif ion. Biosensor elektrokimia ESI-H2PO4- tipe tabung sendiri memiliki elektroda indikator berupa elektroda selektif ion. Biosensor elektrokimia yang menggunakan elektroda selektif ion sekarang ini telah digunakan secara luas untuk pengukuran yang sederhana dan cepat dan ion-ion dari logam terutama dalam lingkungan dan klinik (Selpa, 2010).
Prinsip pengukuran dengan elektroda selektif ion adalah sebagai berikut. Potensial yang terukur adalah beda potensial antara elektroda selektif ion dengan potensial elektroda pembanding. Potensial yang dihasilkan oleh sel tergantung pada potensial yag dihasilkan oleh elektroda kerja. Pada umumnya, digunakan garam-garam yang tidak memberikan gangguan dalam pengukuran. Dalam larutan yang sangat encer, harga koefisien keaktifan mendekati 1 (ai = Ci) sehingga kedua garis akan saling berimpit. Jika pengukuran dilakukan dengan kekuatan ion yang sama, maka diharapkan larutan memiliki koefisien selektifitas yang sama, sehingga potensial sel yang terukur merupakan refleksi dari konsentrasi analit (Sokalski dkk., 1999).
Biosensor elektrokimia telah dipergunakan secara luas di berbagai bidang kehidupan. Misalnya pada bidang medis dan farmasi dipergunakan untuk mengontrol penyakit, diagnosis, studi efisiensi obat, dan lain-lain. Pada bidang medis untuk kontrol polusi, monitoring senyawa-senyawa toksik di udara, air, atau tanah, penentua BOD, dan lain-lain. Pada bidang pertanian untuk mengontrol kualitas tanah, mendeteksi keberadaan pestisida, dan lain-lain.





BAB III
PENUTUP

Biosensor elektrokimia memiliki sensitifitas yang tinggi namun berbiaya relatif tidak terlalu mahal, maka biosensor elektrokimia ini sangat berpotensial untuk dikembangkan di masa mendatang.


















DAFTAR PUSTAKA

Aviga, 2010, Biosensor, (http://www.doktermuda.com, diakses pada tanggal 1 Mei 2011 pukul 12.31 WITA).

Selpa, 2010, Skripsi Pembuatan ESI-H2PO4- Tipe Elektroda Tabung sebagai Sensor Potensiometrik untuk Deteksi Anion H2PO4- di Pelabuhan Tanjung Ringgit Kota Palopo.

Sokalski, T., Ceresa, A., Fibbioli, M., Zwickl, T., Bakker, E., dan Pretsch, 1999, Lowering the Detection Limit of Solvent Polymeric Ion-Selective Electodes 2 Influence of Compostion of Sample and Internal Electrolyte Solution, Anal. Chem., 71, 1210-1214.

Suryana, A., 2010, Biosensor, (http://www.warnadunia.com, diakses pada tanggal 1 Mei 2011 pukul 12.00 WITA.

Cara Ion Logam Non Esensial Meracuni Tubuh dan Treatmentnya

Ada 3 (tiga) cara suatu ion logam dapat meracuni tubuh. Pertama, blocking situs aktif biomolekul. Melalui mekanisme ini, suatu biomolekul menjadi tidak aktif sisi aktifnya sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya karena terblocking oleh suatu ion logam (ion logam berikatan dengan situs aktif biomolekul). Karena kebanyakan situs aktif biomolekul berupa ligan soft seperti sulfuhidril (-SH), maka kebanyakan ion logam yang memblocking situs aktif berupa logam soft (konsep HSAB di mana logam soft berikatan kuat dengan ligan soft, dan logam hard berikatan kuat dengan ligan hard), seperti Hg2+, Pb2+, dan lain-lain. Kedua, memodifikasi struktur molekul. Mekanisme ini terjadi di mana suatu ion logam terikat pada biomolekul bukan pada sisi aktifnya yang mana ion logam berikatan kovalen koordinasi dengan atom S, N, maupun O pada biomolekul sehingga menyebabkan putusnya beberapa ikatan hidrogen pada biomolekul yang menyebabkan berubahnya struktur biomolekul sehingga terjadi deaktivasi fungsi biomolekul ini (Ingat bahwa bentuk biomolekul tertentu untuk dapat menjalankan fungsinya,ketika bentuknya berubah, maka tidak dapat lagi menjalankan fungsi yang sebagaimana mestinya, makanya suatu enzim misalnya sama ion pusatnya tetapi ligan biomolekulnya berbeda, maka berbeda pula perannya dalam fisiologis, misalnya hemoglobin dan peroksidase sama-sama ion pusatnya Fe2+ tetapi berbeda ligan biomolekulnya, maka ketika O2 masuk ke tubuh, hemoglobin akan mengubahnya menjadi O2- sementara peroksidase mengubahnya menjadi H2O2). Ketiga, menginhibisi suatu ion esensial di tubuh. Berbeda dengan cara pertama dan kedua, cara yang ketiga ini hanya dapat terjadi pada konsentrasi ion logam toksik yang sangat tinggi di dalam tubuh. Misalnya pada enzim karbonat anhidrase yang berperan mempercepat pelepasan CO2 dari dalam darah yang mana tanpa enzim ini, hanya 1 - 2 % saja CO2 yang dapat dilepaskan oleh darah sekali siklus. Hal ini tentu akan menyebabkan kematian karena darah akan mengandung CO2 melimpah sehingga tidak dapat memperoleh O2. Enzim ini memiliki ion pusat Zn2+. Ketika di dalam tubuh terdapat Cd2+ yang melimpah, maka Zn2+ dalam enzim karbonat anhidrase ini akan tersubstitusi oleh Cd2+. Ukuran Cd2+ ini lebih besar daripada Zn2+ sehingga enzim lebih mudah diserang oleh nukleofilik sehingga enzim bisa terhidrolisis dan menjadi tidak aktif. Selain itu, Cd2+ ini juga dapat mensubstitusi Ca2+ pada tulang. Karena ukuran Cd2+ ini lebih besar daripada Ca2+, maka tentu saja akan mendesak struktur tulang dari dalam (ruang yang tersedia yang sebelumnya ditempati Ca2+ tidak cukup besar untuk Cd2+) sehingga menyebabkan perih yang amat sangat di tulang seperti yang terjadi di Lembah Jintsu Jepang yang terkenal di Indonesia dengan sebutan penyakit itai-itai. Ada banyak lagi contoh inhibisi ion logam toksik di tubuh, seperti inhibisi As5+ pada P5+ ATP, inhibisi Pb2+ pada Ca2+ tulang atau Fe2+ porfirin. Treatment Untuk mekanisme cara pertama dan kedua, dapat diobati dengan memberikan agen pengkelat yang dapat berikatan dengan ion logam toksik lebih kuat daripada gugus-gugus biomolekul. Beberapa di antaranya yang terkenal adalah British Anti Lewisite (BAL) (CH2SH-CHSH-CH2OH) yang sebelumnya diciptakan untuk mengatasi keracunan gas Lewisite (R1R3C=CR2AsCl2) yang diciptakan oleh Jerman pada perang dunia I. Tetapi BAL ini juga dapat menangani beberapa keracunan ion logam lain. Namun, untuk Hg2+ dan Cd2+, BAL tidak dapat menangani efek toksiknya karena kompleks Hg2+ dan Cd2+ yang dihasilkan dengan BAL mengendap (Ingat bahwa untuk mengatasi toksisitas ion logam, ion logam harus dapat terlepas dari biomolekul tubuh dan dapat terlarut dalam pelarut tubuh (air) sehingga dapat dikeluarkan tubuh). Oleh karena itu, untuk kedua ion logam ini digunakan unithiol (CH2SH-CHSH-CH2SO3Na) yang dapat larut dengan kompleksnya terhadap Hg2+ dan Cd2+. Selain itu, senyawa yang juga tidak kalah populernya yaitu Na4EDTA atau H4EDTA. Untuk mekanisme cara ketiga, ditreatment dengan menggunakan ion esensial yang tersubstitusi oleh ion logam toksik tadi dalam jumlah melimpah. Misalnya, keracunan akibat inhibisi ion Ca2+ oleh ion Pb2+ atau Cd2+ pada tulang dapat ditreatment dengan penyuntikan ion Ca2+. Biasanya digunakan Na2CaEDTA karena di samping ion Ca2+nya dapat mensubstitusi kembali ion Pb2+ atau Cd2+, juga dapat mengkelatkan ion-ion logam toksik ini dan larut serta dibawa oleh pelarut tubuh keluar tubuh. Cara ini cukup efektif untuk keracunan ion Pb2+ namun kurang efektif nyatanya untuk keracunan ion Cd2+.

Model HbO2 Weiss dalam menjelaskan kediamagnetikan HbO2

samapi saat ini, ada banyak model HbO2 yang telah dipaparkan oleh para ahli. Dua di antaranya yang terkenal adalah model yang dikemukakan Pauling dan Weiss. Hal yang paling mendasar yang membedakan kedua model ini adalah bahwa Pauling beranggapan bahwa tingkat energi elektron phi*Px dan phi*Py molekul O2 setara dengan orbital eg pada Fe2+. Sedangkan Weiss beranggapan bahwa berdasarkan dengan konsep elektronegatifitas, maka tingkat energi phi*Px dan phi*Py seharusnya lebih rendah karena O lebih sangat elektronegatif daripada Fe sehingga seharusnya bukan degenerate dengan eg tetapi dengan t2g. Namun, model HbO2 Weiss ini mempunyai elektron tidak berpasangan pada phi*Px yang tidak mengalami mixing (hibridisasi) serta pada sigma* dari mixing orbital phi*Py terhadap sebuah orbital t2g. Tampaknya, masalah kediamagnetikan HbO2 lebih tepat dijelaskan oleh model Pauling di mana tidak ada satupun elektron yang tidak berpasangan pda orbital molekulnya. Namun, untuk banyak hal, model Weisslah yang lebih memenuhi. Adapun bagaimana Weiss menjelaskan kediamagnetikan HbO2 adalah bahwa Fe2+ melepaskan sebuah elektron singletnya tersebut menjadi Fe3+ dan O yang memiliki elektron singlet pada O2 menangkap elektron singlet ini. Oleh protonasi ion H+ yang dilepaskan dari kompleks protein yang terikat pada Hb akibat untuk menyeimbangi perubahan biloks ion pusat Fe2+ menjadi Fe3+ ini, kedua elektron singlet itu kemudian berubah spinnya dari double singlet menjadi berpasangan. Walau bagaimanapun, fakta membuktikan bahwa kompleks HbO2 hanya menunjukkan keseluruhannya bersifat diamagnetik di bawah suhu 50 K. Adapun di atas suhu tersebut, telah terdapat komples HbO2 yang bersifat paramagnetik.

Enzim Oksidoreduktase

Enzim Oksidoreduktase adalah enzim yang berfungsi untuk memediai suatu reaksi oksidasi-reduksi di tubuh yang terdiri dari dua jenis, yakni : 1. Electron Carrier (Pembawa elektron). Suatu enzim oksidoreduktase digolongkan ke dalam kelompok ini jika dalam memediai reaksi redoks, hanya terjadi secara outersphere sehingga tidak terjadi perubahan stabilitas ligan-ligan yang besar selama reaksinya. Hal ini terjadi jika koordinasi ion pusat penuh (tidak terdapat keadaan entatic) sehingga enzim tidak pernah ketempatan substrat, yakni hanya memediai reaksi redoks dengan cara transfer elektron pada orbital t2g-nya. Contoh enzim jenis ini adalah kompleks sitokrom c, feredoksin (suatu kluster 2Fe-2S), dan plastosianin. 2. Pusat Reaksi Redoks. Suatu enzim oksidoreduktase digolongkan ke dalam kelompok ini jika dalam memediai reaksi redoks terjadi secara innersphere sehingga terjadi perubahan stabilitas yang besar pada ligan-ligan selama reaksinya. Enzim yang bertindak sebagai pusat reaksi redoks memberikan tempat fisik untuk terjadinya reaksi redoks yang melibatkan pemutusan dan penyambungan ikatan ligan (biasanya melibatkan orbital eg). Oleh karena itu, gangguan stabilitas ligan-ligan yang ditimbulkan besar. Ada pula jenis enzim ini yang berada dalam entatic state. Entatic state adalah bentuk senyawa kompleks yang tidak stabil karena mempunyai koordinasi kosong tetapi bentuk tidak stabil ini dipertahankan. Bentuk tidak sabil ini dapat dipertahankan jika salah satu ligan yang terikat pada senyawa kompleks ini memiliki bentuk molekul yang sangat besar sehingga memberikan efek sterik besar yang mencegah ligan terakhir ion pusat senyawa kompleks ini diisi oleh ligan luar selain ligan substrat yang sesuai. Contoh enzim jenis ini adalah hemoglobin (sitokrom b), sitokrom P450, dan peroksidase.
Powered by Blogger